Pembangunan Sektor Perikanan, Cerita yang Anti Klimaks

Ibrahim Asnawi

Nelayan seolah dijadikan kelompok pasif, bukan pelaku utama yang harus memiliki kapasitas, inovasi, serta akses pasar yang berkeadilan.

Saat ini, Maluku Utara tidak sedang kekurangan ikan. Yang kurang hanyalah keberanian untuk mendesain kebijakan yang serius meskipun tidak populer.

Padahal laut di Maluku Utara berada dihalaman rumah, dari Pulau Taliabu sampai Pulau Morotai permukaan air laut begitu membiru menjadi penanda bahwa laut Maluku Utara memang benar-benar kaya dan ragam potensi.

Sayang nya, potret realitas bak anomali: nelayan masih ditempa dengan problem harga BBM yang kembang-kempis, harga ikan yang tidak stabil naik turun seperti roller coaster, rendahnya kapasitas nelayan dan kelembagaan nelayan dalam meningkatkan nilai tambah melalui diversifikasi usaha.

Kapal nelayan yang reot dan masih jauh dari kata modern, akses pasar yang rumit, nasib industri perikanan yang berpoperasi nyaris setengah napas serta ambiguitas peta jalan ekspor perikanan.

Pada titik ini, logika pembangunan yang diukur berdasarkan tingkat serapan anggaran dan berapa jumlah paket bantuan yang sudah didistribusikan harus dikoreksi karena dianggap gagal memahami sembari mengurai akar persoalan.

Hal ini senada dengan perkataan Ragnar Arnason ekonom perikanan asal Islandia yakni “The Key to Fisheries Development is System Efficiency, Not Subsidies“.

Dalam teori kebijakan puublik, William N. Dunn (2003), menekankan bahwa kebijakan publik yang efektif tidak hanya harus mengatasi gejala atau dampak yang tampak dari suatu masalah, tetapi harus mampu mengidentifikasi dan mengatasi struktur dasar masalah.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5

Komentar

Loading...