Kebijakan Fiskal ”Tabola-bale”

Kewenangan tanpa dukungan anggaran yang memadai adalah sebuah ilusi. Apa yang kita saksikan saat ini adalah penguatan sentralisasi fiskal yang berjalan secara diam-diam, menggerogoti esensi otonomi daerah dari dalam.
Inilah yang dapat disebut sebagai ironi "tabola-bale" atau tarik-ulur dalam politik desentralisasi kita. Di satu sisi, daerah didorong untuk mandiri, berinovasi, dan bertanggung jawab atas urusannya sendiri. Namun di sisi lain, tali kekang fiskal ditarik semakin kencang oleh pusat.
Situasi kontradiktif ini menciptakan ketidakpastian kebijakan yang kronis, menghambat perencanaan jangka panjang, dan pada akhirnya menjadikan pemerintah daerah sebagai kambing hitam atas kegagalan pelayanan publik yang akarnya justru berasal dari kebijakan pusat.
Konsekuensi lebih jauh dari pemotongan ini adalah erosi kepercayaan publik. Ketika jalanan tetap rusak, sekolah kekurangan guru, dan layanan kesehatan tak kunjung membaik, masyarakat secara alami akan menyalahkan bupati, walikota, dan DPRD mereka.
Padahal, tangan mereka mungkin sedang terikat oleh kebijakan fiskal dari Jakarta. Ini secara perlahan dapat mendelegitimasi institusi demokrasi lokal dan menyuburkan kembali pandangan bahwa hanya pusat yang mampu menyelesaikan masalah.
Sebagai alternatif dari kebijakan pemotongan yang membabi buta, pemerintah pusat seharusnya mengubah paradigmanya dari pendekatan punitif ke pendekatan yang memberdayakan.
Alih-alih memotong dana, mengapa tidak memperkuat mekanisme pengawasan dan pendampingan? Peran BPK, BPKP, dan inspektorat daerah harus dioptimalkan untuk memastikan akuntabilitas, bukan dijadikan alasan untuk melakukan pemangkasan anggaran secara massal.
Baca Halaman Selanjutnya..



Komentar