Indonesia Berduka, Bencana Akibat Keserakahan

Ini adalah alarm bahwa ada yang salah dengan ekosistem. Dalam biologi konservasi, fenomena ini disebut perubahan daya dukung habitat (habitat carrying capacity collapse).
Artinya, lingkungan tidak lagi mampu menyediakan makanan, tempat berlindung, dan ruang hidup.
Namun, kondisi ini sering kali dianggap biasa.
Pemerintah bergerak hanya ketika suara masyarakat bergelinding bagai bola salju, maka untuk meredam itu aktivitas pemicu permasalahan dihentikan sejenak, isu lain kemudian dihembuskan sebagai pengalihan, dan masalah lingkungan kembali terpinggirkan.
Siklus yang terus berulang hingga masyarakat menjadi apatis, kepercayaan kepada pemerintah kembali dipertanyakan.
Belajar dari Sumatra, Maluku Utara Harus Waspada
Sebagai masyarakat daerah ini, harapan besar saya dan sebagian warga Maluku Utara yang peduli lingkungan tertuju pada daerah tercinta ini, tanah yang masih memiliki kekayaan ekologi luar biasa.
Namun, kini mulai terancam. Hutan-hutan Halmahera perlahan mengalami deforestasi akibat aktivitas tambang yang terus meluas. Jika tidak ada langkah pencegahan sejak dini, bencana Sumatra bisa saja menjadi “Part 2” bagi Maluku Utara.
Kita tidak bisa hanya mengandalkan narasi pembangunan. Alam punya batasnya. Ketika batas itu dilampaui, ia membalas dengan cara yang paling tak ingin kita saksikan.
Saatnya Mengembalikan Akal Sehat dalam Pengelolaan Alam
Bencana bukan sekadar fenomena alam, ia adalah cermin dari keputusan manusia. Kita harus berhenti menyebut kerusakan sebagai “konsekuensi pembangunan”, karena pembangunan sejati tidak merusak masa depan generasi.
Semoga Maluku Utara, dan Indonesia secara keseluruhan, mampu lebih mawas diri. Sebelum luka Sumatra kembali terulang di tanah lain. (Dari berbagai sumber). (*)



Komentar