Kutukan Ganda Daerah Penghasil

Pengamat kebijakan publik, Prof. Agus Pambagio, pernah menyebut situasi seperti ini sebagai “kutukan ganda daerah penghasil”. Kutukannya adalah: daerah menanggung kerusakan lingkungan dan sosial dari tambang, namun ketika kompensasi fiskal datang, pencairannya justru terhambat di provinsi. Pendapat itu diperkuat akademisi kebijakan fiskal daerah, Dr. Beni Sabtiawan, yang menegaskan bahwa provinsi tidak memiliki wilayah fisik setingkat kabupaten dan hanya menjadi “penghubung administrasi.”
Karena itu, kata Beni, provinsi tidak boleh menahan aliran DBH karena kewenangannya hanya menyalurkan, bukan mengelola. Ketika DBH tersendat hingga ratusan miliar seperti yang terjadi di Maluku Utara, maka persoalannya bukan sekadar teknis, melainkan terkait akuntabilitas dan integritas pengelolaan kas daerahl.
Krisis DBH ini semakin diperparah oleh kebijakan pemerintah pusat yang memotong Dana Transfer ke Daerah (TKD) hingga lebih dari 30 persen. Dalam banyak kasus, pemotongan itu membuat kabupaten-kota di Maluku Utara kesulitan membayar gaji dan tunjangan pegawai. Ada daerah yang terpaksa menunda pembayaran TPP ASN, menunda belanja modal, hingga menghentikan sementara sejumlah program pelayanan publik.
Kondisi ini memunculkan tekanan fiskal yang tidak hanya menyulitkan kerja pemerintah daerah, tetapi juga menghambat akses masyarakat terhadap layanan dasar. Dalam perspektif analis keuangan publik Dr. Ardito Mulyono, kondisi ini disebut sebagai “triple fiscal shock”—kabupaten menghadapi pendapatan asli daerah yang stagnan, transfer pusat yang dipotong, dan DBH yang tidak cair dari provinsi. Ini membuat daerah berada dalam kondisi keuangan yang rentan dan penuh ketidakpastian.
Ketika dua sumber pendapatan besar daerah melemah secara bersamaan—TKD dipotong pusat dan DBH ditahan provinsi—maka kabupaten-kota berada dalam situasi paling genting. Padahal jika dilihat dari struktur ekonomi Maluku Utara, kabupaten-kota penghasil tambang adalah kontribusi terbesar bagi PDRB provinsi dan penyumbang pemasukan negara melalui royalti, pajak, dan retribusi terkait industri tambang. Namun ironi—dan ketidakadilan fiskal—terjadi ketika daerah-daerah penyumbang inilah yang paling tercekik likuiditasnya.
Pertanyaan pentingnya adalah: mengapa DBH bisa menumpuk sebesar ini? Apakah provinsi tidak memiliki dana karena tersendatnya transfer pusat? Apakah provinsi memakai DBH untuk menutup defisit belanja rutin? Apakah terjadi overplanning di tingkat APBD provinsi? Atau ada mismanajemen kas sehingga uang DBH digunakan untuk kegiatan lain yang tidak seharusnya? Klarifikasi jujur diperlukan karena DBH bukan milik provinsi, melainkan uang yang dititipkan sebentar oleh pusat untuk diteruskan ke kabupaten-kota. Jika uang itu tidak segera disalurkan, pertanyaannya hanya satu: di mana uang itu sekarang?
Dalam banyak kasus di Indonesia, penahanan DBH oleh provinsi disebabkan belanja daerah yang membengkak, defisit yang tidak realistis, atau ketergantungan provinsi pada dana transfer pusat. Jika kondisi tersebut terjadi pula di Maluku Utara, maka kabupaten-kota dalam posisi yang paling dirugikan. Mereka terpaksa menjadi “bank berjalan” bagi provinsi, tempat provinsi mengompensasi defisit kasnya melalui menunda pembayaran. Padahal menurut prinsip keuangan daerah, provinsi tidak boleh membiayai belanjanya dengan menahan hak fiskal kabupaten.
Kondisi ini semakin tidak adil ketika diingat bahwa kerusakan lingkungan akibat industri tambang ditanggung kabupaten setiap hari. Di Halmahera Tengah, misalnya, operasi tambang dan smelter telah mengubah bentang alam, mengancam sumber air, serta memicu konflik lahan.
Halmahera Selatan menanggung kerusakan tanah dan hutan yang ekstensif akibat ekspansi perusahaan tambang nikel. Halmahera Timur menghadapi tekanan ekologis dan sosial yang sama. Tetapi dana yang seharusnya digunakan pemda untuk memperbaiki infrastruktur dan menanggulangi dampak lingkungan justru tertahan. Data-data DBH—Rp149,84 miliar untuk Halteng, Rp107,12 miliar untuk Halsel, Rp24,84 miliar untuk Haltim, serta utang lama Rp62,48 miliar, Rp101,83 miliar, dan Rp10,04 miliar untuk tahun 2023—menunjukkan bahwa kabupaten penghasil tambang adalah yang paling besar mengalami hambatan fiskal.
Sementara itu, provinsi yang tidak menanggung kerusakan ekologis justru menguasai alur dana. Tidak heran muncul komentar dari sejumlah akademisi bahwa sistem pembagian DBH yang menempatkan provinsi sebagai perantara justru menciptakan ruang stagnasi, salah kelola, bahkan potensi penyalahgunaan. Jika DBH disalurkan langsung dari pusat ke kabupaten, banyak daerah akan menerima haknya lebih cepat dan tanpa perantara birokrasi yang berbelit.
Baca halaman selanjutnya...


Komentar