Refleksi Dinamika Pemilu Terkait Politik Uang

Sejauh ini kita seakan disuguhi dengan potret budaya politik yang destruktif: jual beli suara dianggap biasa. Tak lazim memilih karena diberikan uang. Politik transaksional seharusnya dipandang sebagai sebuah ancaman bagi kita semua (politisi maupun warga).
Pada praktiknya justru terjadi kontradiktif. Mengapa tidak? untuk menduduki jabatan politik tak sedikit biaya yang dikeluarkan. Hal tersebut dapat dilihat dalam kegiatan kampanye.
Di banyak tempat warga nyaris tak hadir dalam kegiatan seperti itu jika tidak dijanjikan pengembalian uang transportasi dari kontestan. Pun jika hadir tanpa itu hanya sebagaian kecil.
Padahal, kampanye merupakan cara sederhana dari calon terhadap warga menyampaikan ide dan gagasan. Karena melalui metode tersebut calon warga bisa tahu visi-misi yang ditawarkan terhadap mereka.
Dengan begitu warga bisa memiliki preferensi yang cukup untuk menentukan siapa yang bakal dipilih. Namun begitulah kondisi dan dinamika politik kita di Indonesia, buram!
Kejahatan serupa berlanjut hingga pada tahapan pencoblosan. Dalam banyak kasus, ada temuan maupun laporan yang didapati saat hari pelaskanaan pencoblobasan dengan modus bersedekah. Padahal praktik seperti itu harus ditolak.
Warga harus membangun kesadaran politik yang beradab: tak menerima uang dan memilih karena gagasan, bukan sebaliknya. Di sisi lain, politisi tidak meyogok warga dengan uang, namun ruang akomodatif untuk menyerap sejumlah aspirasi warga secara kolektif.
Baca Halaman Selanjutnya..



Komentar