Maluku Utara Tanpa Ruang Kontemplatif

MALUKU Utara adalah salah satu provinsi yang kaya akan sejarah, tradisi, dan sumber alam. Dari jejak Kesultanan Ternate dan Tidore yang pernah menjadi pusat rempah dunia hingga kekayaan laut dan pulau-pulau kecil yang membentang luas, wilayah ini memiliki potensi luar biasa dalam membentuk ekosistem sosial, ekonomi, dan budaya yang harmonis. Namun, secara diam-diam, ada ruang kosong yang semakin terasa dalam kehidupan masyarakat Maluku Utara masa kini kekosongan yang dapat disebut sebagai hilangnya ruang kontemplatif dalam tata ruang sosial, tata kota, dan kehidupan budaya masyarakat.
Ruang kontemplatif bukan sekadar tempat fisik; ia adalah ruang mental, sosial, dan spiritual yang memungkinkan masyarakat berhenti sejenak, berpikir, merenung, berdialog, dan menghubungkan diri dengan sejarah, tradisi, serta realitas sosial yang ada. Ia adalah ruang di mana manusia bisa mengambil jarak dari hiruk pikuk dunia untuk menemukan makna. Hilangnya ruang kontemplatif berarti hilangnya kesempatan masyarakat untuk mempertemukan pengetahuan masa lalu dengan realitas masa kini. Inilah salah satu krisis diam-diam yang kini dialami Maluku Utara.
Di kota-kota utama seperti Ternate, Sofifi, atau Tidore, perkembangan ruang publik cenderung diarahkan pada fungsi pragmatis: area komersial, fasilitas transportasi, tempat hiburan, dan ruang administratif. Namun, ruang bagi proses perenungan ruang yang memungkinkan masyarakat memulihkan hubungan batin dengan lingkungan, budaya, dan nilai sosial semakin terpinggirkan. Bangunan kuno bersejarah direnovasi tanpa filosofi pelestarian, situs budaya hanya menjadi objek wisata visual, bukan ruang dialog nilai. Bahkan pantai dan laut yang dahulu menjadi ruang sosial, ruang doa, dan ruang eksistensi orang Maluku Utara kini sering hanya menjadi tempat rekreasi yang cepat dan dangkal.
Tanpa ruang kontemplatif, masyarakat cenderung hidup dalam pola kehidupan bergerak cepat tanpa jeda. Modernisasi hadir tanpa refleksi; teknologi hadir tanpa arah; pembangunan berjalan tanpa jiwa. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat perlahan kehilangan kemampuan untuk memahami diri, lingkungan, dan masa depannya. Yang muncul kemudian adalah fenomena sosial: kecenderungan konflik, lemahnya solidaritas sosial, pudarnya identitas budaya, dan tumbuhnya generasi yang tercerabut dari akar sejarahnya.
Maluku Utara sebenarnya memiliki modal besar untuk menghadirkan kembali ruang kontemplatif. Sejarah kesultanan, tradisi adat, filosofi maritim, dan kehidupan komunitas adat merupakan sumber nilai yang dapat menjadi basis pembentukan ruang kontemplasi modern. Namun sayangnya, banyak nilai ini kini hanya dikenang secara seremonial, bukan dikelola sebagai fondasi kesadaran kolektif.
Ambil contoh tradisi kololi kie atau nyare. Tradisi ini bukan hanya ritual, melainkan ruang kontemplasi kolektif ruang membangun hubungan antara manusia, alam, dan yang transenden. Namun, generasi muda kini mengenalnya sebatas konten festival, bukan ruang batin yang hidup.
Begitu juga dengan situs sejarah seperti benteng-benteng Portugis dan Belanda yang tersebar di Ternate, Tidore, atau Halmahera. Situs-situs ini seharusnya menjadi ruang refleksi sejarah kolonialisme, strategi perlawanan, dan kebangkitan identitas. Namun fungsi itu kini hampir hilang. Yang meningkat hanyalah aktivitas swafoto dan komersialisasi event, bukan pemaknaan sejarah.
Dalam konteks pembangunan, absennya ruang kontemplatif juga menciptakan tata kota yang serba fungsional tetapi tidak menyentuh sisi psikologis masyarakat. Kota berkembang seperti pabrik sosial: ramai, padat, dan bergerak cepat namun tanpa ruang untuk kembali melihat makna dari hidup bersama. Padahal, kota yang sehat bukan hanya kota yang lengkap infrastrukturnya, melainkan kota yang memberi kesempatan warganya untuk berhenti, merenung, berdialog, dan menemukan kembali posisi dirinya dalam masyarakat.
Ruang kontemplatif dapat hadir dalam berbagai bentuk: taman kota yang dirancang dengan konsep kebudayaan; perpustakaan publik yang menjadi pusat baca dan diskusi ide; ruang kesenian yang menghadirkan musik, sastra, dan teater sebagai dialog sosial; museum yang bukan hanya tempat benda mati tetapi ruang interpretasi sejarah; bahkan ruang digital yang digunakan bukan sekadar untuk hiburan, tetapi untuk belajar dan berbagi nilai.
Jika Maluku Utara ingin membangun peradaban masa depan, maka pembangunan yang dilakukan harus melampaui beton dan administrasi. Ia harus memulihkan ruang batin masyarakatnya.
Maluku Utara tidak membutuhkan lebih banyak pusat belanja ia membutuhkan pusat makna. Ia tidak hanya membutuhkan jalan baru tetapi arah baru. Ia tidak hanya membutuhkan gedung modern tetapi pemaknaan ulang terhadap nilai-nilai leluhur.
Oleh karena itu, diperlukan kesadaran kolektif bahwa ruang kontemplatif bukan kemewahan, tetapi kebutuhan sosial. Pemerintah daerah dapat mulai dengan kebijakan tata ruang berbasis budaya; perguruan tinggi dapat mencetak generasi yang menghidupkan kembali ruang ide dan ruang dialog; komunitas adat dapat menjadi penjaga nilai; dan masyarakat dapat belajar menghargai waktu untuk jeda.
Jika ruang kontemplatif dapat dihidupkan kembali dalam kehidupan masyarakat Maluku Utara, maka pembangunan tidak hanya bergerak ke arah fisik modernitas, tetapi juga ke arah kedewasaan peradaban. Sebab, masa depan bukan hanya tentang apa yang dibangun, tetapi juga tentang siapa kita ketika semua itu berdiri.
Tanpa ruang kontemplatif, Maluku Utara akan terus bergerak maju tetapi kehilangan dirinya. Namun dengan ruang itu, Maluku Utara dapat menemukan kembali arah, bukan sekadar menjadi modern, tetapi menjadi maju dengan kesadaran, makna, dan identitas.(*)



Komentar