Desentralisasi Fiskal DOB Sofifi dan Jejak Perebutan Elit Kekuasaan

Alih-alih dimanfaatkan untuk meningkatkan pelayanan publik, dana tersebut sering kali digunakan sebagai alat politik yang dapat dibagi-bagikan, dinegosiasikan, atau diperdagangkan.
Paul Smoke, dalam Managing Public Sector Reform: Decentralization and Service Delivery in Asia (2015), memperingatkan bahwa desentralisasi fiskal tanpa mekanisme kontrol yang kokoh cenderung mengarah kepada praktik oligarki lokal, di mana para elite menggunakan anggaran publik untuk mempertahankan kekuasaan politik mereka.
Pada titik ini, kita melihat bagaimana ide yang seharusnya ideal mulai terperosok pada kepentingan sempit.
Fenomena ini menjadikan diskusi tentang DOB sering kali memicu kecurigaan masyarakat.
Setiap kali dibentuk DOB, akan muncul struktur kekuasaan baru: kepala daerah, DPRD, dinas-dinas baru, dan ratusan posisi ASN. Struktur ini bukan sekadar bagian administratif, melainkan juga alat politik yang menyediakan sumber daya kekuasaan, seperti akses proyek, anggaran, jabatan, dan pengaruh.
Di berbagai daerah, dorongan untuk pemekaran lebih didasarkan pada perhitungan elite politik, bukan pada kebutuhan nyata masyarakat.
Ketika pemekaran dijadikan metode untuk menciptakan kekuasaan baru, maka DOB menjadi arena bagi persaingan politik yang tidak sehat. Masyarakat hanya dijadikan latar belakang, bukan sebagai aktor utama.
Kekhawatiran ini semakin nyata saat kita melihat kasus pembentukan DOB Sofifi. Sebagai ibu kota Provinsi Maluku Utara sejak lebih dari sepuluh tahun lalu, Sofifi mencerminkan paradoks birokrasi di Indonesia: sebuah kota yang penting secara administratif, namun terabaikan dalam pembangunan.
Baca Halaman Selanjutnya..



Komentar