Hutan Patani bukan Tanah Kosong

Sahwi Agil

Papa melangkah dengan parang di tangannya, menjadikannya pena yang menulis kehidupan di atas lembaran hutan, tanah, dan ladang.

Setiap ayunan parang adalah kalimat, setiap tetesan keringat adalah tanda baca yang menyempurnakan cerita keteguhan, kesedihan, kepercayaan, dan kedamaian.

Ia menulis masa depan anak dan cucunya bukan dengan tinta, tetapi dengan tenaga, kesabaran, dan pengorbanan yang tak pernah menuntut pujian apalagi kesombongan. Mereka dengan erat memegang parang itu, seolah takut kisahnya berhenti begitu saja.

Pada daun yang bergoyang ia menitipkan pesan, pada air yang terus mengalir ia titipkan harapan bahwa kehidupan yang mereka perjuangkan akan tumbuh seperti padi, rendah hati ketika berisi, namun menghidupkan siapa pun yang menyentuhnya.

Maka berdirilah di istana atas nama Hutan ini. Bukan berdiri diatas persaingan gaya hidup yang tidak bermakna, Di istana itu (Hutan), cinta tidak pernah kering, dan harapan sesungguhnya tidak pernah hilang ia tumbuh, bersemi, menjadi bekal bagi generasi yang mereka lindungi.

Itulah istana para petani, tempat kehormatan lahir dari kesederhanaan, tempat masa depan ditanam dengan tangan yang kasar, tetapi penuh kasih dan kejujuran yang pasti.

Biarkan hutan patani terus hijau, keringat terus menyerap pada tanah kehidupan, dan kita sebagai pewaris dan generasi yang tumbuh dengan keberanian. Mari terus bersuara atas ketidakadilan dan hal-hal yang menyimpang. Maka ada satu kata, "Menanam Adalah Melawan"!

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5

Komentar

Loading...