Ketika Alam Menjerit: Paradigma Ekoteologi sebagai Jawaban

Di Bali, sistem Subak mengatur pembagian air sawah dengan tata spiritual dan sosial, mencerminkan harmoni antara manusia dan alam. Sementara itu, masyarakat adat Kalimantan menjaga hutan larangan sebagai wilayah sakral yang tidak boleh dieksploitasi.
Praktik-praktik ini menunjukkan bahwa leluhur kita memiliki pemahaman mendalam tentang pentingnya merawat alam, jauh sebelum konsep ekologi modern diperkenalkan. Kearifan lokal ini bukan hanya tradisi, tetapi juga strategi keberlanjutan yang relevan hingga kini.
Krisis Spiritual sebagai Akar Masalah Ekologi
Krisis ekologi yang hadir dihadapan kita saat ini adalah nyata dan penting, sebab ia menunjukkan bagaimana bumi sedang terluka, merana dan tersakiti.
Namun, bila kita hanya memahami krisis ekologi sebagai sekadar krisis teknis, masalah energi, limbah, dan kebijakan, artinya kita hanya menyentuh kulit luar dari akar permasalahan.
Pada hal persoalan mendasar dari krisis ekologi adalah krisis spiritual. Ia lahir dari cara manusia memandang dirinya dan alam semesta.
Ia berakar pada kehilangan rasa hormat terhadap kehidupan. Ketika manusia melihat dirinya sebagai pusat dan penguasa tunggal, maka alam direduksi menjadi obyek, mesin produksi, dan komoditas.
Dalam cara pandang ini, manusia memandang air hanyalah sumber energi, hutan hanyalah kayu dan lahan, hewan hanyalah daging, dan tanah hanyalah bahan bangunan.
Baca Halaman Selanjutnya..



Komentar