Di Balik Kemakmuran Palsu Kapitalisme

Sulfan Kiye

Proses akumulasi ini sangat terlihat dalam struktur kepemilikan aset. Dari 178 perusahaan yang go publik di Indonesia, 67,1 persen dikuasai keluarga-keluarga bisnis, dan hanya 5,1 persen yang benar-benar dimiliki publik.

Lebih jauh lagi, hanya 15 keluarga menguasai 61,7 persen total kapitalisasi pasar. Secara global, privatisasi terbukti mendorong kesenjangan: indikator kesenjangan kekayaan melonjak dari 62,5 menjadi 66,0 hanya dalam lima tahun.

Artinya, 1 persen warga terkaya dunia menguasai kekayaan yang setara dengan 57 persen warga termiskin di bumi ini. Di Indonesia, situasinya tidak kalah memilukan. Tercatat 6.400 orang Indonesia menyimpan US$ 257 miliar di luar negeri. Dua orang terkaya Indonesia masuk dalam daftar 538 orang terkaya dunia.

Sementara itu, 19,5 persen dari total penduduk justru menganggur. Akumulasi kekayaan pada segelintir elit swasta telah menjerumuskan jutaan warga ke dalam jurang kemiskinan.

Kebebasan arus perdagangan barang dan jasa, sekaligus pergerakan perusahaan multinasional ke negara-negara miskin, membuat akumulasi keuntungan korporasi bahkan melebihi pendapatan satu negara.

Pada 1997, total penjualan General Motors mencapai US$ 164 miliar, lebih tinggi dibanding GDP Norwegia (US$ 153 miliar) dan jauh melampaui GDP Indonesia yang saat itu hanya US$ 50,2 miliar. Dengan pendapatan sebesar itu, perusahaan multinasional dengan mudah membiayai riset-riset perguruan tinggi.

Saat ini, 60 persen kegiatan litbang di negara maju dibiayai sektor swasta. Pertanyaannya: riset apa yang lahir dari logika pasar? Pada 1998, dari total dana riset sebesar US$ 70 miliar, hanya US$ 300 juta (0,43 persen) dialokasikan untuk pengembangan vaksin HIV/AIDS dan hanya US$ 100 juta (0,34 persen) untuk riset obat malaria.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4

Komentar

Loading...