Belajar dari Serial “Ipar adalah Maut”

Lebih jauh, saat pelaku perselingkuhan ditampilkan sebagai tokoh yang kompleks dan simpatik, penonton muda dapat mengalami ambivalensi nilai. Mereka mulai menerima bahwa kejujuran bukan lagi fondasi utama hubungan, melainkan sesuatu yang bisa dinegosiasikan.
Kondisi tersebut di atas, berlangsung di tengah struktur rumah tangga masyarakat yang juga sedang rapuh. Di Kota Ternate, misalnya, Pengadilan Agama mencatat 716 perkara perceraian pada tahun 2022 dan 616 perkara pada tahun 2023.
Mayoritas merupakan cerai gugat dengan alasan perselisihan, kecemburuan, tekanan ekonomi, dan hadirnya pihak ketiga. Pada triwulan awal 2025, media sosial muncul sebagai faktor pemicu yang semakin sering disebut dalam gugatan.
Di tingkat provinsi, BPS Maluku Utara mencatat lebih dari 5.700 pernikahan dan sekitar 300 perceraian dalam satu tahun terakhir. Angka-angka ini tidak menunjukkan film sebagai penyebab langsung perceraian.
Namun, ia menunjukkan bahwa keluarga berada dalam kondisi rentan. Narasi budaya yang memperlonggar batas moral dapat memperburuk situasi tersebut.
Menguatkan Ketahanan Keluarga
Ketika media menghadirkan kisah perselingkuhan dalam lingkar keluarga sebagai sesuatu yang dekat, menarik, dan mungkin terjadi, itu memperlemah rasa aman dalam rumah tangga.
Karena itu, respon sosial yang diperlukan tidak cukup berupa kecaman atau larangan tayang. Kita memerlukan upaya konstruksi budaya yang lebih matang. Solusinya dapat dianalisis dalam empat ranah utama, diantaranya.
Baca Halaman Selanjutnya..



Komentar