Korupsi Uang Mami dan Buramnya Birokrasi

Oleh: Dr. Hendrizal, S.IP,. M.Pd
(Dosen Pascasarjana S2 Pendas-PGSD FKIP Universitas Bung Hatta (UBH) Padang. Penasihat Forum Diskusi Maluku Utara (Fordimu))
Belakangan ini, publik Maluku Utara lagi heboh membicarakan satu kasus yang bikin geleng-geleng kepala. Yakni: soal anggaran makan-minum (yang sering disingkat ‘mami’) dan perjalanan dinas (perjadin) yang melekat di Sekretariat Daerah Provinsi Maluku Utara. Nilainya bukan recehan: Rp2,7 miliar.
Bayangkan, uang sebesar itu bisa membangun puluhan ruang kelas baru, memperbaiki jalan antar-desa, atau menambah fasilitas rumah sakit di daerah-daerah terpencil. Tapi apa yang terjadi? Uang itu justru raib dalam praktik anggaran yang diduga fiktif.
Baca di: Koran Digital Malut Post Edisi Sabtu, 8 November 2025
Satu orang, SR, sudah divonis oleh Pengadilan Tipikor Ternate: satu tahun penjara dan denda Rp50 juta. Tapi penyidik masih terus bekerja, karena dugaan keterlibatan pihak lain belum selesai diselidiki.
Kasus ini memang tampak sederhana di permukaan, tapi kalau kita lihat lebih dalam, ia bukan sekadar soal uang yang dikorupsi. Ini soal cara kerja birokrasi kita, soal bagaimana hukum dijalankan, dan soal budaya kekuasaan yang sudah mengakar lama.
Kalau bicara soal aturan, semuanya sudah jelas. Ada mekanisme anggaran, sistem pelaporan, hingga prosedur pertanggungjawaban yang baku. Tapi sering kali, aturan itu hanya berlaku di atas kertas. Dalam praktiknya, banyak yang memelintir aturan demi kepentingan tertentu.
Pos makan-minum dan perjalanan dinas biasanya jadi ‘ladang empuk’. Alasannya klasik: anggaran ini fleksibel, gampang dicairkan, dan jarang dipertanyakan.
Akibatnya, laporan-laporan fiktif muncul, yakni nota makan yang tidak pernah ada, perjalanan dinas yang cuma di atas kertas, hingga tanda tangan palsu untuk mencairkan dana.
Baca Halaman Selanjutnya..



Komentar