Lalayon; Jati Diri Halmahera yang Kerap Disalahpahami

Melihatnya, para pemuda dan pemudi lain ikut bangkit dan menari bersama. Mereka bergerak mengelilingi daun “Lala” yang menjadi alas makanan. Gerak mereka sederhana namun indah, penuh kebersamaan.
Sejak saat itu, gerakan tersebut dikenal dengan sebutan “Lalayon” sebuah tarian yang melambangkan kebangkitan dari duka menuju kebahagiaan, dari kehilangan menuju harapan baru.
Makna Kata “Lala” dan Nilai Spiritual di Baliknya
Kata “Lala” dalam bahasa Patani berarti pengalas makanan, sebuah benda sederhana yang melambangkan kebersamaan dalam makan dan berbagi. Namun kata ini juga memiliki makna yang lebih dalam, karena diyakini berasal dari ucapan “La ila”, bagian dari kalimat zikir “La ilaha illallah”.
Makna spiritual ini menunjukkan bahwa tarian Lalayon tidak hanya lahir dari gerak tubuh, tetapi juga dari zikir dan kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam kehidupan manusia. Dalam setiap gerakannya, tersimpan nilai pengingat agar manusia senantiasa bersyukur, meski dalam duka sekalipun.
Tarian ini pun menggambarkan keselarasan antara alam, manusia, dan Sang Pencipta. Gerakan penari yang meniru burung camar, penggunaan daun kelapa sebagai alas, hingga lenso yang diangkat dengan lembut, semuanya mencerminkan hubungan harmonis antara manusia dan alam Halmahera yang kaya dan indah.
Harmoni Sosial dalam Gerak Lalayon
Selain makna spiritual, Lalayon juga mencerminkan nilai sosial yang tinggi. Tarian ini biasanya dibawakan oleh muda-mudi dalam suasana gembira acara adat, pesta rakyat, atau penyambutan tamu. Di dalamnya, ada pesan kuat tentang kebersamaan, dan kehangatan.
Pria dan wanita menari bersama, tidak dalam kompetisi, melainkan dalam harmoni. Gerak mereka saling melengkapi, seolah menggambarkan keseimbangan kehidupan sosial masyarakat pesisir Halmahera yang selalu hidup berdampingan dengan alam dan sesamanya.
Baca Halaman Selanjutnya..





Komentar