Dominasi Bahasa Asing: Ironi di Bulan Bahasa

Irfan Efendi 

Bulan Bahasa berubah menjadi bulan refleksi, bahwa kita masih setengah hati menjaga warisan paling luhur dari perjuangan bangsa yakni terkait bahasa pemersatu.

Sebagai penulis, saya meyakini bahwa bahasa bukan sekadar sarana bicara, melainkan cermin kepribadian bangsa. Bila sebuah bangsa kehilangan hormat pada bahasanya, maka ia sedang kehilangan jati dirinya.

Bahasa Indonesia adalah ruh kebangsaan kita. Ia menyatukan ribuan pulau, ratusan suku, dan berjuta perbedaan menjadi satu tubuh bernama Indonesia. Jika bahasa ini terus terpinggirkan oleh bahasa asing, maka yang terancam bukan hanya komunikasi, melainkan eksistensi kita sebagai bangsa.

Kita tidak perlu menolak bahasa asing, tapi harus menempatkannya di posisi yang proporsional. Bahasa asing adalah jendela dunia, sedangkan Bahasa Indonesia adalah pondasi rumah kita. Tidak ada artinya jendela indah jika rumahnya rapuh.

Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan langkah konkret, memperketat pengawasan atas pelanggaran bahasa di ruang publik, meninjau ulang kebijakan syarat TOEFL bagi pegawai negeri, dan memberikan apresiasi bagi perusahaan yang konsisten menggunakan Bahasa Indonesia.

Dan yang terpenting, masyarakat harus kembali menumbuhkan kebanggaan terhadap bahasanya sendiri. Karena bangsa besar bukan diukur dari seberapa banyak bahasa asing yang dikuasainya, tapi seberapa dalam ia menghargai bahasa yang melahirkan kemerdekaannya.

Bulan Bahasa seharusnya bukan sekadar seremoni linguistik, melainkan seruan kebangsaan. Mari kembali menegakkan bahasa kita, bukan dengan pidato saja, tetapi dengan sikap. Sebab, seperti kata Pramoedya Ananta Toer, “Kalau orang tidak menghormati bahasanya sendiri, mereka tidak akan dihormati bangsa lain.” (*)

Selanjutnya 1 2 3 4 5

Komentar

Loading...