Dominasi Bahasa Asing: Ironi di Bulan Bahasa

Di media sosial, anak muda lebih bangga menggunakan campuran bahasa Inggris dalam unggahan mereka. Istilah seperti “healing”, “random thought”, atau “mood booster” menjadi keseharian. Akibatnya, generasi muda mulai kehilangan kepekaan terhadap keindahan dan keluwesan bahasa ibu.
Fenomena ini tidak terjadi secara alami. Ia terbentuk oleh arus pasar dan budaya populer yang menjadikan bahasa asing sebagai simbol kemajuan. Kita seolah lupa bahwa bahasa tidak hanya alat komunikasi, tetapi juga wadah berpikir dan membangun peradaban.
Bahasa Indonesia dulunya lahir dari semangat perlawanan. Ia disepakati pada 1928 bukan karena keindahannya, tapi karena fungsinya menyatukan bangsa. Kini, hampir seabad kemudian, bahasa itu justru ditinggalkan karena dianggap kurang “menjual”.
Regulasi yang Mandul
Selain UU 24/2009 dan Perpres 63/2019, pemerintah juga menerbitkan Perpres Nomor 27 Tahun 2019, yang mengatur pengadaan alat pertahanan dan keamanan. Meski konteksnya berbeda, regulasi ini menegaskan pentingnya kedaulatan nasional, termasuk dalam pemakaian bahasa di ranah industri strategis.
Namun, apa artinya semua regulasi itu jika tidak diiringi dengan pengawasan dan penegakan yang nyata? Sampai hari ini, pelanggaran terhadap penggunaan Bahasa Indonesia di ruang publik nyaris tidak pernah berujung sanksi. Kita seperti memiliki banyak payung hukum, tapi dibiarkan berdebu di gudang birokrasi.
Bulan Bahasa seharusnya menjadi momentum kebangkitan, bukan sekadar festival tahunan. Tapi justru pada bulan inilah kita disuguhi kenyataan pahit, bahwa bahasa Indonesia kalah populer dibandingkan bahasa asing yang bebas berkeliaran di papan iklan, produk dagang, dan dokumen resmi.
Baca Halaman Selanjutnya..
 





 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Komentar