Dominasi Bahasa Asing: Ironi di Bulan Bahasa

Saya enggan menyebut lembaga pemerintah mana yang mensyaratkan bahasa asing tersebut. Namun, sudah jelas, ini mencidrai para pemerhati atau pegiat bahasa yang tak lelah mengkampanyekan Bahasa Indonesia dari dalam hingga luar negeri.
Apakah kemampuan bahasa asing menjadi tolok ukur utama profesionalitas seorang aparatur negara? Bukankah semestinya bahasa Indonesia yang menjadi syarat utama, karena mereka akan melayani masyarakat Indonesia?
Kita tidak sedang menolak bahasa asing. Menguasainya tentu penting dalam konteks global. Tetapi menjadikan TOEFL sebagai syarat wajib tanpa mempertimbangkan nilai kebangsaan adalah bentuk ketidakadilan.
Ia menciptakan kesenjangan bagi pelamar dari daerah yang tak memiliki akses kursus bahasa atau biaya tes sertifikasi. Lebih dari itu, ia mengirimkan pesan bahwa bahasa Indonesia tidak lagi punya nilai strategis di mata negara.
Padahal, Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 secara tegas menegaskan bahwa “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta.”
Artinya, di level administrasi dan pelayanan publik, bahasa Indonesia adalah tulang punggung komunikasi negara. Lalu, bagaimana bisa syarat masuk ke dalam lembaga negara justru berbasis bahasa asing? Inilah kontradiksi paling terang antara aturan dan realitas.
Selain itu, dalam ruang lingkup ekonomi, pendidikan dan budaya. Bahasa Indonesia kalah oleh bahasa asing dalam sektor tersebut termasuk gaya hidup. Maka boleh di kata Bahasa Indonesia kini berada dalam posisi subordinat.
Baca Halaman Selanjutnya..
 





 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Komentar