Dominasi Bahasa Asing: Ironi di Bulan Bahasa

Irfan Efendi 

Sedangkan yang menggunakan Bahasa Indonesia murni hanya sekitar 49%. Angka ini mencerminkan betapa rendahnya kebanggaan terhadap bahasa sendiri.

Lebih ironis lagi, banyak merek lokal yang memilih nama berbahasa asing agar dianggap lebih “berkelas”. Padahal, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara sudah jelas menegaskan pada Pasal 36 ayat (1) bahwa “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nama bangunan, jalan, apartemen, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, dan lembaga pendidikan yang berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Namun faktanya, aturan ini lebih sering jadi arsip ketimbang pedoman. Kita terlalu mudah mengalah pada alasan “tren globalisasi” dan “kenyamanan pasar”, padahal di situlah jati diri kita perlahan dirampas.

Saya bukan bermaksud membuat panas telinga, namun idealnya pemerintah sebagai garda terdepan harus benar-benar menjaga, bukan ikut melucuti marwah bahasa.

Oleh karena itu kritik paling tajam pantas diarahkan kepada lembaga pemerintah. Mereka sering bicara tentang nasionalisme, tetapi dalam praktik, justru menelanjangi martabat bahasa sendiri.

Dalam seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2024 misalnya, banyak kementerian mensyaratkan sertifikat TOEFL sebagai bukti kemampuan bahasa Inggris.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5

Komentar

Loading...