Dominasi Bahasa Asing: Ironi di Bulan Bahasa

Irfan Efendi 

Oleh: Irfan Efendi
(Pascasarjana Pend. Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang)

Setiap Oktober, Indonesia merayakan Bulan Bahasa. Spanduk berwarna merah-putih membentang di jalan, seminar dan lomba pidato digelar di sekolah, dan media sosial riuh dengan tagar #BulanBahasa.

Namun di balik kemeriahan itu, ada ironi yang tak bisa kita sembunyikan, bahasa Indonesia semakin kehilangan tempat di tanah airnya sendiri.

Kita hidup di negeri yang menyanyikan lagu kebangsaan dalam bahasa Indonesia, tapi menulis papan nama toko dengan bahasa asing.

Kita berikrar satu bahasa dalam Sumpah Pemuda, tapi menjadikannya bahasa nomor dua di banyak ruang publik. Ironisnya, pemerintah yang seharusnya menjadi penjaga marwah bahasa, justru ikut arus dengan mensyaratkan kemampuan bahasa asing seperti TOEFL untuk melamar pekerjaan di instansi negara.

Apakah ini artinya kita tengah menyiapkan kubur bagi bahasa sendiri?
Lihatlah sekitar kita bahasa asing sudah menjadi raja di negeri sendiri, dari papan nama “Coffee Shop”, “Fashion Corner”, “Beauty Lounge”, hingga iklan di televisi yang dengan bangga menampilkan tagline “Feel the Freshness” atau “Made for You”.

Bahasa Inggris bukan lagi sekadar bahasa internasional, tapi sudah menjadi simbol status sosial dan gaya hidup urban. Penelitian yang dilakukan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (2023) menunjukkan bahwa sekitar 39% nama toko dan bangunan di kota besar menggunakan bahasa asing.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5

Komentar

Loading...