Kuburan Akal di Marabose

Oleh: Yoesran Sangaji
(Penulis merupakan alumni Sosiologi FISIP UMMU, asal pulau Bacan)
Langit Bacan pagi itu seakan memantulkan luka bumi – birunya pudar, seperti kehilangan doa. Di antara jalan berlubang dan debu yang menari di udara, langkahku menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Marabose terasa berat, bukan karena jarak, tapi karena beban kenyataan yang menunggu di ujung sana.
Setiap tapak seolah menapak pada luka-luka lama yang kita abaikan: sampah yang menumpuk, janji yang busuk, dan kesadaran yang perlahan membusuk bersama plastik dan sisa makanan yang tak terurai.
Kita telah lama hidup di tengah tumpukan yang tak lagi sekadar limbah – tapi juga sisa-sisa kemanusiaan yang tak sempat kita urai. Di kiri jalan, perkebunan Kaladi seolah berbisik lirih tentang masa depan yang semestinya subur dan penuh harapan.
Namun, setiap kali petani ke kebun, mereka lebih dulu menghirup bau dari gunungan sampah yang tak lagi asing; gunungan yang tumbuh lebih cepat dari hasil penen mereka.
Sementara di kanan, angin membawa kabar kematian yang pelan – tanah yang kelihangan napas, air yang berubah getir, akal sehat mulai layu di antara plastik yang menua. Di sinilah kebijakan yang setengah hati dan tanggung jawab yang tercecer berpadu menjadi bau busuk yang menyesak.
Ketika jarum jam menunjukkan pukul 08.46 WIT, pendanganku tertumbuk pada lahan seluas kurang lebih tiga hektar milik pemerintah daerah – sebuah ruang yang seharusnya menjadi pusat pengelolaan, tapi kini menyurupai kuburan besar tanpa arah.
Segalanya bercampur aduk: organik, anorganik, limbah B3, kertas, dan residu – menimbun tanpa pemilahan. Bau menyengat bercampur dengan udara, seolah menjadi saksi bisu dari gagalnya tata kelola lingkungan.
Baca Halaman Selanjutnya..





Komentar