Krisis Demokrasi Tanpa Kritik: Sebuah Catatan untuk Demokrasi Lokal

Legislatif harus menjalankan peran pengawasannya secara konsekuen, memastikan alokasi anggaran ini sungguh-sungguh dipakai untuk menjawab persoalan publik.
Pertanyaan pengawasan yang sederhana dan mendasar: alokasi anggaran untuk apa saja? Bersifat prioritas untuk warga/tidak? Lebih besar belanja operasional/belanja modal?
Sekali lagi, ini adalah uang rakyat. Bukan uang pribadi pejabat. Siapa pun yang kelola anggaran (APBD dan APBN), level dewa sekali pun, harus diawasi. Jika pengelolaannya tidak transparan, sangat patut dicurigai.
Untuk Tumbuh dan Hidup, Demokrasi Perlu Kritik
Sejatinya kekuasaan itu tak terkecuali pengelola anggaran bersifat korup, menyimpang, menindas, dan sewenang-wenang. Pengawasan terhadapnya menjadi penting dan mendesak.
Bentuk pengawasan Legislatif terhadap Eksekutif, salah satunya, melalui evaluasi, koreksi, dan kritik atas kebijakan yang diambil. Kritik yang dimaksud harus menyasar pada kebijakan dan berlandaskan data. Bukan celaan, bukan juga sentimen.
Kritik tidak lahir dari ruang hampa. Kritik adalah reaksi dari apa yang terlihat atau terasa tidak sesuai dengan apa yang dituju. Kritik menggugat perubahan pun perbaikan. Sebagai batu uji, kritik menunjukkan celah bahwa masih ada kekeliruan atas apa yang selama ini dianggap sudah benar.
Setiap pejabat publik harus siap dikritik atas kinerjanya. Bersikap dewasa dan terbuka terhadap kritik adalah suatu kebijaksanaan. Eksekutif sebagai subjek yang diawasi Legislatif harus mampu diuji dan mempertanggungjawabkan kinerjanya.
Baca Halaman Selanjutnya..





Komentar