Krisis Demokrasi Tanpa Kritik: Sebuah Catatan untuk Demokrasi Lokal

Oleh: Dr. R. Graal Taliawo, S.Sos,. M.Si.
(Anggota DPD RI 2024–2029)
“Kita tidak antikritik, malah suka dikritik.” Sebuah penggalan ucapan Presiden Prabowo April 2025 lalu pada sebuah kegiatan pemerintah. Ya, di zaman sekarang ini pemimpin mutlak harus terbuka terhadap kritik. Dalam iklim demokrasi, lembaga yang utamanya memainkan peran pengkritik adalah Legislatif terhadap Eksekutif.
Kritik dibutuhkan supaya pemerintah bekerja secara waspada. Bersikap kuda-kuda antikritik berarti patut dicurigai kebijakan yang sedang dieksekusinya tidak masuk akal; potensial koruptif.
Mengawasi Sang Pengeksekusi
Pada hal yang kompleks selalu ada aturan main. Secara sadar itu memang diciptakan demi menunjang tercapainya tujuan dan meminimalisasi ke-chaos-an. Berlaku juga pada sistem demokrasi yang kita anut.
Demokrasi diartikan sebagai sistem tentang bagaimana bernegara. Sistem untuk mencapai kesejahteraan bersama. Di dalamnya dibentuk berbagai lembaga negara untuk bisa memenuhi hak warga negaranya, yang merupakan cita-cita sosial dari dibentuknya suatu negara.
Aturan main yang fundamental dalam demokrasi adalah ada pembagian lembaga kekuasaan—legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Setiap lembaga punya peran dan tanggung jawab masing-masing.
Legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten) sebagai pengawas, Eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati) sebagai pengeksekusi. DPR dan DPD awasi kinerja Presiden dan Kementerian; DPRD Provinsi awasi kinerja Gubernur; DPRD Kabupaten awasi kinerja Bupati.
Eksekutif diberi mandat dan amanat mengelola anggaran (yang tentunya tidak sedikit) untuk menyelesaikan masalah publik. Anggaran ini adalah uang rakyat dan hak rakyat.
Baca Halaman Selanjutnya..





Komentar