Ironi Hukum dalam Kasus 11 Masyarakat Adat Maba Sangaji

Ketika Hutan Hijau Dihabisi di Atas Meja Hijau

Madyatama SY. Failisa

Jika di ekuador ada faham Pachamama maka di Inndonesia sendiri  ada “Ibu Pertiwi”, adalah yang paling sakral. Ia bukan sekadar simbol nasionalisme, melainkan pengakuan kultural bahwa tanah ini adalah sosok yang harus dicintai, dirawat, dan dibela layaknya seorang ibu.

Dan kalau tanah air ini disebut ibu, maka tak ada logika yang membenarkan seseorang dihukum karena membela ibunya sendiri. Betapa ganjil sebuah negara yang bangga menyanyikan lagu “Ibu Pertiwi” di setiap upacara.

Namun di saat yang sama memenjarakan anak-anak Ibu Pertiwi yang menjaga napasnya di hutan-hutan adat Maba. Apakah cinta pada ibu kini juga harus melalui izin negara?

Lihatlah bagaimana dunia lain sudah bergerak: di Selandia Baru, sungai diberi hak hukum; di Kolombia, Hutan Amazon diakui sebagai entitas hukum; bahkan di India, Sungai Gangga diangkat sebagai “legal person.”

Namun di Indonesia, yang diberi “hak hukum” justru korporasi tambang, bukan hutan yang mereka rusak. Ironi ini menampar kita dengan keras: bahwa di negeri yang katanya menjunjung keadilan sosial, yang diadili justru para penjaga kehidupan.

Jangankan memberi hak kepada alam, atau sekadar bergeser dari konsep natural rights menuju the rights of nature, yang terjadi justru sebaliknya negara malah membungkam para pelindung kehidupan itu sendiri: sebelas masyarakat adat Maba yang berdiri di garis depan menjaga napas bumi.

Maka, apa yang perlu dilakukan bukan sekadar pembelaan di ruang sidang, tetapi restorasi moral terhadap hukum itu sendiri. Hukum harus kembali berpihak pada kehidupan, bukan pada izin eksploitasi.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Komentar

Loading...