Ironi Hukum dalam Kasus 11 Masyarakat Adat Maba Sangaji

Ketika Hutan Hijau Dihabisi di Atas Meja Hijau

Madyatama SY. Failisa

Hukum di sana menjadi mekanisme rekonsiliasi antara negara dan masyarakat adat; hukum di sini menjadi alat represi untuk memisahkan mereka dari tanah leluhur.

Dalam konteks masyarakat adat Maba Sangaji, mestinya negara dapat mencontoh model pengakuan Māori ini. Bukan berarti kita harus meniru secara buta, melainkan mengadopsi semangat ko-governance kemitraan sejajar antara negara dan masyarakat adat dalam menjaga alam.

Sebab jika sungai di Selandia Baru bisa menjadi “subjek hukum”, mengapa hutan adat di Maluku Utara hanya dianggap sebagai “barang bukti”?

Perbandingan ini membuka luka lama kita sendiri: bahwa Indonesia masih menempatkan masyarakat adat sebagai “objek pembangunan”, bukan mitra kebangsaan. Padahal Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dengan terang menyebut:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup...”

Namun, pengakuan itu berhenti di atas kertas. Yang hidup di lapangan bukanlah penghormatan, melainkan kecurigaan. Negara memperlakukan masyarakat adat seperti tamu tak diundang di rumahnya sendiri, sementara pengusaha diberi karpet merah.

Selandia Baru, setelah berabad-abad menindas Māori, akhirnya sadar bahwa rekonsiliasi bukan kelemahan, tetapi kekuatan moral. Indonesia masih gagap untuk sampai ke sana. Mungkin karena di sini, negara masih menganggap permintaan maaf sebagai ancaman, bukan kebajikan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Komentar

Loading...