Ironi Hukum dalam Kasus 11 Masyarakat Adat Maba Sangaji
Ketika Hutan Hijau Dihabisi di Atas Meja Hijau

Bandingkan dengan Indonesia, yang justru menghukum manusia karena membela alamnya. Di Aotearoa, mereka memberi hak hukum kepada sungai.
Namun bandingkan dengan Indonesia: sekalipun negara ini secara normatif telah memberi hak kepada setiap orang untuk memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 66 UU PPLH dan diperkuat oleh Putusan MK Nomor 119/PUU-XXIII/2025, hak itu justru dikerdilkan bahkan dikebiri, oleh pengadilan umum.
Kasus sebelas masyarakat adat Maba menjadi bukti paling getir: ketika mereka membela hutan, negara membalasnya dengan vonis bersalah; ketika mereka menjaga kehidupan, hukum justru mencabut kehidupan sosial mereka.
Inilah ironi yang menelanjangi kesadaran kita: bahwa di negeri lain, hukum memberi hak kepada sungai agar manusia belajar rendah hati kepada alam, sementara di negeri ini, manusia dihukum karena terlalu setia menjaga hutan.
“Negara maju” rupanya bukan diukur dari banyaknya gedung pengadilan, tetapi dari sejauh mana hukum mampu berempati bukan hanya kepada rakyatnya, tetapi juga kepada bumi dan leluhur yang menjadi saksi sejarah keberadaannya.
Jika Waitangi Tribunal di Selandia Baru adalah contoh bagaimana hukum dapat menjadi ruang penyembuhan (law as healing), maka peradilan di Indonesia masih sering menjadi ruang penghakiman (law as punishment).
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar