Ironi Hukum dalam Kasus 11 Masyarakat Adat Maba Sangaji
Ketika Hutan Hijau Dihabisi di Atas Meja Hijau

Lebih ironis lagi, para hakim itu seolah lupa bahwa MK telah mengajarkan prinsip in dubio pro natura, dalam keraguan, berpihaklah pada alam. Tapi yang mereka pilih justru in dubio pro kekuasaan dalam keraguan, berpihaklah pada penguasa.
Ketika Negara Belajar dari Selatan: Māori, Tanah, dan Martabat yang Diakui
Di ujung selatan dunia, di negeri yang oleh penjajah dulu disebut “tanah awan putih panjang” Aotearoa, Selandia Baru sejarah masyarakat adat tidak kalah getir dibanding di Indonesia.
Suku Māori pernah dipinggirkan, tanah mereka dirampas, budaya mereka diperlakukan sebagai folkor. Namun perbedaan besarnya adalah: negara mereka akhirnya belajar untuk meminta maaf dan memperbaiki diri.
Pada tahun 1975, Selandia Baru membentuk Waitangi Tribunal, sebuah lembaga hukum semi-yudisial yang bertugas menangani pelanggaran terhadap Treaty of Waitangi perjanjian antara kerajaan Inggris dan suku-suku Māori tahun 1840.
Lembaga ini tidak hanya memeriksa, tapi juga mengakui bahwa tanah, sungai, dan gunung adalah entitas yang memiliki hak hidup, bukan sekadar objek ekonomi.
Keputusan paling monumental muncul pada tahun 2017, ketika Parlemen Selandia Baru mengesahkan undang-undang yang menetapkan Sungai Whanganui (Te Awa Tupua) sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan martabat sendiri diakui sebagai “living entity”. Dua wakil, satu dari pemerintah dan satu dari Māori, ditunjuk sebagai wali sungai.
Bayangkan: di sana, air tidak hanya mengalir di bawah hukum; ia diakui sebagai bagian dari hukum itu sendiri. Inilah paradigma ecological personhood, di mana hukum bukan lagi menundukkan alam, tetapi berdialog dengannya.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar