Ironi Hukum dalam Kasus 11 Masyarakat Adat Maba Sangaji
Ketika Hutan Hijau Dihabisi di Atas Meja Hijau

MK sudah menyalakan lentera hijau di tengah gelapnya sistem hukum; sayangnya, lentera itu padam di tangan para hakim biasa. Ketika MK berbicara tentang keadilan ekologis, pengadilan sosial masih sibuk memelihara prosedur administratif.
Ketika MK menegaskan prinsip partisipasi publik, pengadilan justru mengkriminalisasi rakyat yang melaksanakan partisipasi itu dengan caranya sendiri.
Inilah tragedi hukum yang menegaskan betapa negara lebih takut pada warganya yang sadar, daripada pada korporasi yang serakah. Maka, persoalannya bukan lagi sekadar beda tafsir, melainkan pembangkangan yudisial terhadap amanat konstitusi.
Putusan MK menegaskan ruang perlindungan; putusan pengadilan merobeknya.
Dan di antara dua kutub itulah, 11 masyarakat adat Maba Sangaji dipaksa memikul beban hukum yang bahkan tak mereka ciptakan. Seolah mereka bukan warga negara yang dijamin haknya oleh konstitusi, melainkan objek yang harus diatur, dibungkam, dan dilupakan.
Pengadilan seperti ini lupa bahwa keadilan bukan hanya tentang hukum, tapi tentang hubungan manusia dengan bumi dan sesamanya. Masyarakat adat Maba Sangaji tidak menulis gugatan, tetapi mereka menulis sejarah.
Mereka tidak bicara dengan bahasa Latin hukum, tetapi dengan bahasa air, batu, dan pohon, bahasa yang lebih tua daripada republik ini sendiri.
Dan ketika negara menghukum mereka, sejatinya negara sedang menghukum dirinya sendiri. Sebab, yang hilang bukan hanya hutan, tetapi juga legitimasi moralnya.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar