Ironi Hukum dalam Kasus 11 Masyarakat Adat Maba Sangaji
Ketika Hutan Hijau Dihabisi di Atas Meja Hijau

Putusan MK ini tidak sekadar melindungi, tapi juga memperluas horizon moral hukum lingkungan di Indonesia. Penulis berpendapat bahwa dalam putusan perkara ini, MK dapat dijuluki sebagai “peradilan konstitusi yang hijau” (green constitutional court).
Sebuah lembaga yang berani berdiri di sisi rakyat dan bumi. Hakim konstitusi dalam perkara ini telah menempatkan dirinya sebagai “wali lingkungan”, dan menerapkan prinsip in dubio pro natura ketika terdapat keragu-raguan, maka yang harus diutamakan adalah kepentingan publik dan lingkungan hidup, bukan kepentingan prosedural atau korporasi.
Prinsip ini mengandung makna filosofis yang mendalam: bahwa hukum bukanlah pagar bagi kepastian, tetapi naungan bagi kehidupan. Maka, dalam keraguan hukum, keberpihakan harus jatuh pada bumi, bukan pada modal.
Dengan begitu, hak konstitusional warga untuk memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak boleh dibatasi oleh prosedur, definisi, atau syarat administratif.
Semestinya, hakim pada peradilan lainnya pun menempatkan dirinya sebagai “wali lingkungan”, agar keadilan ekologis benar-benar tercermin dalam putusan-putusan pengadilan yang berjiwa hijau bukan sekadar “legal”, tapi beradab terhadap alam.
Namun ironinya, pengadilan yang mengadili kasus Maba Sangaji justru bergerak ke arah sebaliknya. Alih-alih menerjemahkan semangat konstitusional MK, hakim di tingkat sosial dan peradilan umum terjebak dalam formalitas positivistik yang steril.
Mereka menutup mata terhadap dimensi ekologis dan kultural, lalu menyederhanakan perjuangan rakyat menjadi tindak pidana. Di sinilah otokratik legalisme menunjukkan wajah aslinya, hukum tampak hidup, tapi sebenarnya sedang bersekongkol dengan kekuasaan untuk menundukkan kebenaran.
Baca Halaman Selanjutnya..





Komentar