Ironi Hukum dalam Kasus 11 Masyarakat Adat Maba Sangaji
Ketika Hutan Hijau Dihabisi di Atas Meja Hijau

Ketika Jalur Hukum Menjadi Jalan Buntu: Ironi “Aktivis yang Tidak Diakui” oleh Negara
Dalam ruang sidang yang seharusnya menjadi altar keadilan, ke-11 masyarakat adat Maba Sangaji justru diseret dengan tuduhan yang absurd: mereka dianggap bukan aktivis lingkungan hidup karena “tidak menempuh jalur hukum.”
Begitulah bunyi dalih pengadilan, kalimat yang begitu steril dari nurani, namun basah oleh formalitas yang kaku. Seolah cinta pada hutan harus terlebih dahulu dilegalisir di depan notaris, dan kepedulian terhadap sungai harus melewati meja birokrasi.
Dalih semacam itu bukan hanya dangkal secara hukum, tetapi juga memalukan secara moral. Ia menunjukkan bagaimana negara kini memonopoli hak untuk menentukan siapa yang boleh peduli.
Jika engkau memperjuangkan alam dengan laporan tertulis dan konferensi pers, negara menyebutmu aktivis. Tapi jika engkau memperjuangkannya dengan doa, ritual, dan tenda di hutan adat, negara menyebutmu pengganggu ketertiban.
Inilah paradoks besar dalam sistem hukum yang kehilangan empatinya bahwa keberpihakan pada bumi kini membutuhkan surat izin.
Padahal, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 119/PUU-XXIII/2025 telah menegaskan bahwa “setiap orang” yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Ini ditegaskan secara eksplisit dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH): “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar