Catatan

Politisi Tak Akil Balig?

A. Malik Ibrahim

Kekuasaan politik apa pun dimensinya, fantasinya adalah seratus persen instink dan naluri (nafsu). Agar kekuasaan tak jadi liar dan buas manusia memerlukan kesadaran nilai etik, semacam oase ruhaniah – meminjam istilah
Peter L. Berger, kanopy suci (the sacred canopy).

Tentu, semuanya kembali pada manusia. Lalu, apa pengertian dasar kita tentang manusia. Apakah itu bios politikos, semacam binatang yang sanggup berpikir atau ens possible, makhluk penuh kemungkinan. Perspektif kualitas manusia sangat tergantung pada antropologi yang kita anut.

Dramatis dan penuh kemungkinan. Jadi, setiap orang adalah gado-gado dari yang baik dan buruk, campuran kimia dari sifat-sifat loyal dan kecenderungan sifat Brutus, rakitan dari roh Bismarck dan psikologi Hamlet, medan pertempuran antara keserakahan dan kesetiaan. Pokoknya, a compound of dust divinity.

Jawabnya jelas, politikus adalah orang yang percaya akan hal itu dan bekerja atas dasar kepercayaan itu. Bagi dia selalu ada kemungkinan bahwa orang baik dalam hidupnya dapat berubah (dan diubah) jadi penjahat, dan
seorang bajingan berubah (dan diubah) jadi tokoh teladan. Dua kemungkinan itu sama besar, dan politikus berusaha mewujudkan kemungkinan kedua.

Sebab, tiap prestasi yang dicapai seorang politikus tetaplah hanya satu kemungkinan – yang pada menit berikutnya dapat disabot kembali oleh unsur unsur gelap. Setiap detik dalam politik adalah perebutan dan pertarungan.

Jika kita tak punya akal budi, maka kekerdilan adalah sebab mengapa demikian banyak politikus menjadi tak akil balig sedemikian lama dalam partai politik? Tidakkah di sana justru banyak ditontonkan kebenaran, yang bisa jadi cermin hikmah bagi kepura-puraan kita?. (*)

Selanjutnya 1 2 3 4

Komentar

Loading...