Catatan

Politisi Tak Akil Balig?

A. Malik Ibrahim

Sangat terasa betapa kita terus diajak bergulat dengan algofobia – sakit oleh kecurigaan, termasuk rasa sakit karena konflik politik. Sekaligus, algofobia juga jadi obat bius yang membuat kita tak punya kepekaan. Dalam kondisi seperti ini, jangan berharap pada perubahan radikal dunia politik.

Begitulah gaya seorang politikus, ia tidak berpikir tentang “lurus” sebagai lawan “tidak lurus” melainkan sebagai berlawanan dengan “bengkok”, “melengkung”, “zig-zag”, dan sebagainya.

“Transformasi dan kemajuan yang kita nikmati dewasa ini, sebagian besar dibangun atas pundak-pundak jutaan manusia yang menderita”, begitulah tulis Peter L. Berger dalam Pyramids of Sacrifice (1974). Berger menegaskan perlunya hak manusia untuk tidak menderita.

Politik itu warna-warni. Merah, kuning, hijau, biru, pink. Dan warna yang menyolok abu-abu. Mau paham atau tidak, kemenangan adalah segala-galanya. Semua orang bisa masuk ke ranah politik, menjadi politikus.

Tapi, “tak semuanya paham apa itu politik, sebelum atau bahkan ketika sudah memasuki dunia politik. Politik kadang aneh dan susah dipahami. Politik itu candu: kalau sudah terlibat susah berhenti. Politisi merasa tak pernah mati, sehingga zoon politicon berlaku selamanya.

Menurut Winston Churchill, tentara terbunuh sekali, tetapi politikus bisa berkali-kali. In war, you can only be killed
once, but ini politics, many times, (Alfian,2016).

Dalam totalitarianism politik, di mana, “semua masalah adalah masalah politik, dan politik itu sendiri, sindir George Orwel, adalah kebohongan, penggelapan, kebodohan, kebencian dan skizofrenia yang dilakukan secara massif”,(Ibid).

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4

Komentar

Loading...