FGD, Prof. Dr. Susanto Zuhdi Dorong Revitalisasi Sejarah dan Adat Loloda

Foto bersama Prof. Dr. Susanto Zuhdi dan warga Desa Kedi usai FGD.

Jailolo, malutpost.com -- Tindak lanjut kegia Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Literasi Budaya dan Sejarah Lokal Menuju Generasi Emas 2045, tim peneliti dari Universitas Indonesia (UI) bersama Universitas Khairun (Unkhair) Ternate,  kembali melaksanakan FGD di Desa Kedi, Kecamatan Loloda, Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara, pada Minggu (11/10/2025).

Kegiatan tersebut untuk menguatkan literasi Budaya dan Sejarah Lokal menuju Indonesia Emas 2045. Salah satunya menggali kembali sejarah dan kekayaan budaya masyarakat Loloda yang mulai terkuras zaman.

“Kegiatan ini merupakan bagian dari program pengabdian masyarakat yang diinisiasi oleh Direktorat Pengabdian dan Inovasi Sosial Universitas Indonesia (DPIS UI)," ungkap Prof. Dr. Susanto Zuhdi.

Pakar sejarah Universitas Indonesia itu, dalam sambutannya menegaskan pentingnya pelestarian budaya dan sejarah lokal sebagai fondasi pembangunan nasional.

“Jadi, Loloda pernah menjadi kerajaan besar dan memiliki peran penting dalam sejarah Maluku. Makanya, budaya bukan sekedar nilai abstrak, melainkan pedoman hidup yang harus diimplementasikan dalam kehidupan nyata," tagasnya.

Prof. Zuhdi bilang, pelestarian budaya lokal bukan semata nostalgia, tetapi langkah konkret menuju masa depan yang berakar pada jati diri bangsa. Karena pelestarian budaya tidak hanya bersumber dari pembangunan ekonomi dan infrastruktur, tapi juga jembatan sejarah dan komunikasi budaya. “Sejarah selalu mampu memberi pelajaran agar kita tidak kehilangan arah," katanya.

Bersamaan, Dr. Abd Rahman yang merupakan tim Universitas Khairun Ternate menyatakan, program ini bertujuan menghidupkan kembali kesadaran akan identitas Loloda sebagai penjaga pintu ujung utara Maluku.

Sehingga, lanjutnya, FGD ini merekomendasikan penyusunan kamus bahasa Loloda, pendokumentasian cerita rakyat dan syair Kapita Sikuru, revitalisasi kesenian tradisional seperti Cakalele dan Tide-Tide, serta eksplorasi kuliner lokal sebagai bagian dari hilirisasi budaya. “Secara khusus, perhatian ditujukan juga pada pelestarian tarian Sikuru yang saat ini terkendala dengan ketiadaan alat-alat musik untuk mengiringi pertunjukan dan latihan tari di sanggar," tuturnya.

“Dengan semangat kolaborasi antara masyarakat, akademisi dan pemerintah daerah, kegiatan ini diharapkan menjadi titik awal kebangkitan literasi budaya dan sejarah lokal di Maluku Utara, yaitu sebuah langkah kecil menuju cita-cita besar Indonesia Emas 2045," sambungnya mengakhiri.

Sementara itu, tokoh adat Bakun Malamo, Her Salomo dalam diskusi mengaku, bahwa Kerajaan Loloda merupakan salah satu kerajaan tertua di Maluku Utara, karena berdiri sejak abad ke-13. Dalam kisahnya, perjuangan rakyat Loloda melawan kolonial Belanda serta kisah Kapita Sikuru yang heroik menjadi bagian penting dari ingatan kolektif masyarakat setempat.

Senada, Kapita Pajuangan dan Perwakilan Lembaga Kerajaan Yopi Luwu, menjelaskan, asal-usul nama Loloda yang konon berasal dari kata “Loloda Ka” (telah lari), yang merujuk pada kisah pelarian sultan dari letusan Gunung Mamuya. “Yang jelas, kekayaan adat istiadat Loloda, mulai dari tarian Cakalele, ritual Popoje hingga pembagian harta adat Jiko Ma’Adat," jelasnya.

Kepala SMA Negeri 4 Halmahera Barat, Yansen Saban, di kegiatan tersebut melihat pasa sisi pendidikan bahwa ketiadaan literatur tertulis mengenai sejarah dan budaya Loloda di sekolah. Sehingga, di sekolah memiliki kurikulum pengembangan budaya lokal, tapi tidak memiliki bahan ajar atau literatur baku tentang budaya Loloda.

“Tak ada sejarah secara tertulis, makanya menjadi persoalan jika kurikulum pengembangan lokal tidak diajarkan. Jadi harus cepat diatasi," akunnya lagi.

Perwakilan perempuan, Margareta Mais, mengingatkan bahwa perempuan harus dilibatkan dalam setiap proses pendokumentasian sejarah dan tradisi. Begitu pun, salah satu siswa, yakni Puteri Anu, menilai pentingnya media pembelajaran berbasis buku sebelum beralih ke media digital.

Usai kegiatan FGD, masyarakat setempat telah menyoroti belum diakuinya Kesultanan Loloda secara legal sebagai bagian dari empat kesultanan besar di Maluku Utara, yakni Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Mereka berharap agar ke depan Loloda dapat memperoleh pengakuan formal, supaya pelestarian budaya memiliki dasar hukum yang kuat. (one)

Komentar

Loading...