CERPEN : Di Balik Amplop yang Terlupa

Karya : Mutiah Ramli

HUJAN turun deras di ujung Januari itu. Angin berhembus begitu kencang, mengetuk jendela kamar dengan suara berulang. Dari balik kaca, ku tatap jalanan itu dengan pandangan yang kosong. Tanganku menggenggam sebuah amplop tua nan kusam yang kutemukan di laci meja kerja Ayah siang tadi. Tulisan tangan itu jelas miliknya—huruf-huruf sederhana, sedikit goyah, tapi penuh kesabaran.

Di dalamnya terdapat surat terakhir dari ayah—goresan tangannya yang kini tinggal kenangan. Namun, tak ingin kubuka kembali amplop itu, sebab diriku terlalu takut. Takut bila isinya akan kembali menghantuiku, isi yang membawaku pada penyesalan yang abadi.

Ayahku bukanlah orang yang pandai bicara dan menunjukkan kasih sayangnya. Ia bukan tipe ayah yang suka memeluk atau mengumbar kata-kata yang menghangatkan hati. Ia lebih sering diam, sibuk dengan dunianya, sibuk bekerja, pulang larut malam dengan tubuh letihnya, lalu esoknya kembali berangkat bahkan sebelum fajar menyingsing.

Aku dulu sering salah paham, menganggap bahwa ayah tak pernah peduli pada anaknya. Sering sekali aku membandingkan “kenapa ayah orang lain bisa begitu hangat pada anak-anaknya,sementara ayahku begitu dingin dan kaku?”.  Aku ingat jelas, setiap kali aku meminta pada Ayah tuk dibelikan sesuatu, ia jarang mengiyakan. Hanya kata, “nanti ya”, atau “belum bisa nak” yang sering kali keluar dari mulutnya.

Aku merasa kesal dan marah, merasa Ayah itu terlalu pelit, dan tidak pernah mengerti. Tapi aku tidak tahu…bahwa di luar sana, Ayah bekerja sampai sakit-sakitan,  mengorbankan segala hal yang ia miliki, hanya untuk memastikan aku bisa bersekolah sampai dengan selesai, aku bisa makan makanan yang enak dan bergizi, dan bisa hidup lebih baik.

Siang itu, saat hujan turun, aku membuka laci meja kerja Ayah. Meja itu sudah lama tak tersentuh sejak beliau pergi enam bulan yang lalu. Bau kayu tua dan debu bercampur,  membuat dadaku sesak. Di dalamnya tertumpuk dengan rapi beberapa buku catatan, kertas-kertas lusuh yang mulai menguning, dan sebuah amplop tua yang di ujung amplop itu tertulis : “Untuk anakku tersayang”.

Tanganku bergetar saat membukanya.

Surat Ayah

Anakku Sayang…

Saat kamu membaca ini, mungkin ayah sudah tidak ada lagi di sisimu. Ayah menulis surat ini diam-diam, di malam-malam ketika tubuh ayah terasa begitu lelah. Bukan karena ayah ingin pamit, tapi karena ayah tidak punya waktu untuk megatakan semuanya secara langsung. Ayah minta maaf kalau selama ini ayah bukan sosok yang hangat seperti yang kamu harapkan. Ayah tidak pandai bicara, tidak pandai menunjukkan kasih sayang. Tapi setiap helai rambutmu , setiap langkahmu, setiap napasmu, selalu ayah doakan dalam hati. Kalau ayah jarang berkata, itu bukan berarti ayah tidak peduli. Justru karena ayah terlalu peduli, sampai ayah bingung  harus bagaimana. Kamu mungkin sering marah karena ayah jarang menuruti semua keinginanmu. Tapi tahukah kamu, setiap kali kamu minta sesuatu, ayah selalu berusaha diam-diam menabung untuk mewujudkan keinginanmu itu. Bukan karena ayah pelit nak, tapi ayah ingin kamu punya masa depan yang baik. Ayah rela menahan semua keinginan diri sendiri supaya kamu bisa belajar, supaya kamu tidak kekurangan, supaya kamu bisa berdiri jauh lebih tinggi dari ayah.

Ayah tahu mungkin kamu kecewa pada ayah. Tapi, percayalah, semua yang Ayah lakukan,meskipun terlihat jahat, adalah bentuk cinta yang bisa Ayah berikan. Cinta seorang Ayah memang sering terdengar kaku. Tapi cinta itu selalu ada , bahkan sampai napas terakhir.

Kalau suatu hari nanti ayah sudah tiada jangan pernah merasa sendirian. Lihatlah langit setiap kali hujan turun, di situlah doa Ayah jatuh bersamamu. Dan kalau kamu rindu, bacalah surat ini. Anggaplah Ayah masih duduk di teras rumah, tersenyum melihatmu pulang.

Jangan nakal,nak. Jangan patah semangat. Jadilah orang baik tebarlah kebaikan di manapun kau berada. Itu saja permintaan Ayah. Karena kalau kamu baik, Ayah tidak akan pernah benar-benar mati di dalam dirimu. nak, kasih dan cinta Ayah padamu mejalar sedalam samudra,melampaui segala batas yang bisa diukur kata.

Begitu selesai membaca, aku terisak, bagai busur panah yang terus menerus menembus dada–tak terlihat lukanya, tetapi perihnya di setiap helaan napas. Ku pukul dadaku mencoba menghilangkan rasa sakit itu. Semua kata yang dulu ingin aku sampaikan pada Ayah kini hanya jadi penyesalan. Kenapa aku tidak pernah bilang “Terima Kasih’’? kenapa aku tidak pernah bilang “Aku sayang Ayah”? kenapa aku lebih sering marah, berprasangka buruk padanya, dan menjauh, seolah waktu akan selalu ada untuk memperbaiki semuanya?

Padahal waktu tidak pernah menunggu. Aku teringat malam terakhir ayah di rumah sakit. Aku datang terlambat, hanya sempat mengenggam tangannya yang sudah dingin dan kaku. Matanya terpejam, wajahnya tenang, tapi ku tahu ada ribuan kata yang tak sempat ia ucapkan. Dan kini, kata-kata itu tertuang di surat yang kutemukan terlalu lambat.

Hujan di luar semakin deras, seolah ikut menangis bersamaku. Kututup kedua mataku memeluk surat itu dengan erat. “Maafkan aku Yah…maafkan aku yang tidak pernah membalas semua pengorbananmu, aku janji akan menjadi anak yang baik, aku janji akan membanggakanmu”. Tapi janji itu hanya bisa kuucapkan pada selembar amplop tua. Kepada sosok yang kini hanya hidup dalam doa dan kenangan. Hujan di Januari itu menjadi saksi bahwa aku akhirnya mengerti betapa besar cinta seorang Ayah, cinta sederhana yang tak tergantikan, cinta yang hanya bisa kurasakan penuh ketika semuanya sudah terlambat.(*)

Komentar

Loading...