Tata Kelola Pengawasan Pemilu Perspektif Daerah Kepulauan

Kedua, terjadi kerawanan dalam tindaklanjut dugaan pelanggaran. Laporan dari Pengawas Kelurahan/Desa (PKD) atau PTPS di pulau terpencil seringkali terlambat sampai ke tingkat kecamatan dan kabupaten karena kendala transportasi dan komunikasi.
Keterlambatan ini menghambat proses penanganan pelanggaran yang dibatasi oleh waktu, sehingga banyak laporan berpotensi kehilangan momentum atau bahkan kedaluwarsa sebelum ditindaklanjuti secara formal.
2. Kesenjangan Infrastruktur Teknologi dan Digital
Penerapan aplikasi seperti Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi) milik KPU, yang turut diawasi oleh Bawaslu, menghadirkan kesulitan tersendiri, wilayah kepulauan dengan keterbatasan akses telekomunikasi seperti di Halmahera Timur, Halmahera Selatan, Halmahera Tengah (Gebe), Pulau Morotai, Kepulauan Sula dan Pulau Taliabu.
Dimana akses internet yang stabil masih menjadi “kemewahan”, sinyal seluler seringkali hilang di antara pulau atau di pedalaman, berakibat PTPS kesulitan mengunggah formulir C.Hasil, potensi manipulasi data saat rekapitulasi manual berjenjang semakin meningkat.
Pengawasan terhadap proses digital menjadi lumpuh, dan terpaksa kembali ke metode manual yang lebih rentan terhadap intervensi. Ironisnya, teknologi yang dirancang untuk transparansi justru dapat menciptakan titik buta (blind spot) pengawasan di wilayah dengan infrastruktur digital yang minim.
3. Tantangan Sosio-Kultural dan Kapasitas Sumber Daya Manusia
Masyarakat di daerah kepulauan cenderung memiliki ikatan sosial dan kekerabatan yang kuat. Meskipun positif dalam banyak hal, realitas ini menjadi tantangan bagi netralitas pengawas pemilu.
Seorang pengawas di tingkat desa atau TPS seringkali diperhadapkan dalam posisi dilematis ketika harus menindaklanjuti dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh tokoh masyarakat, pejabat desa, atau bahkan kerabatnya sendiri.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar