Dari Gizi ke Racun: Menyoal Kegagalan Program Makan Bergizi Gratis

M. Julfikram Suhadi

Masalah serupa muncul di berbagai daerah. Makanan menumpuk lalu basi, sementara perut anak-anak tetap kosong. Di satu sisi, pemerintah membanggakan angka capaian; di sisi lain, dapur-dapur relawan tumbang karena janji yang tak dibayar.

Dari Gizi ke Ladang Korupsi

Dengan anggaran Rp400 triliun, program ini ibarat tambang emas politik. Minimnya transparansi membuka celah selebar-lebarnya bagi penyalahgunaan: mulai dari pengadaan bahan baku, pencairan dana, hingga distribusi.

Ekonom Celios, Muhamad Saleh, mengingatkan: tanpa audit terbuka, yang diuntungkan bukan rakyat, tapi lingkar kekuasaan. Alih-alih jadi investasi gizi, MBG terancam berubah menjadi bancakan politik paling besar dalam sejarah republik.

Ketika Brasil Bisa, Indonesia Tergelincir

Brasil sukses dengan Programa Nacional de Alimentação Escolar berkat pengawasan ketat dan kemitraan dengan petani lokal. Kenya melibatkan komunitas untuk mengelola distribusi makanan di sekolah.

Indonesia justru sebaliknya: koordinasi lemah, distribusi berantakan, dan kualitas makanan dipertaruhkan. Belatung dalam nasi siswa di Ternate adalah bukti telanjang bahwa standar keamanan pangan kita hancur.

Masa Depan atau Beban?

Program MBG bukan sekadar proyek politik. Ia menyangkut hak dasar anak-anak Indonesia atas makanan sehat. Jika gagal, dampaknya bukan hanya perut kosong, melainkan hilangnya kepercayaan publik terhadap negara.

Solusi sebenarnya jelas: pengawasan ketat, distribusi transparan, keterlibatan petani lokal, dan pembayaran tepat waktu kepada relawan. Tanpa itu, program ini hanya akan meninggalkan jejak pahit: janji yang basi, makanan yang busuk, dan rakyat yang kecewa. (*)

Selanjutnya 1 2

Komentar

Loading...