(Hari Tani Nasional ke-64; Refleksi dan Harapan bagi Kedaulatan Pejuang Agraria)
Perjuangan dan Penantian tak Berujung

Namun, substansi dari sistem pangan tersebut tetap terikat pada serangkaian hubungan produksi dan reproduksi yang kompleks secara historis—suatu kompleksitas yang sulit untuk dijelaskan di sini tanpa memberikan contoh-contoh yang ilustratif.
***
Sejarah panjang agraria di Indonesia dimulai sejak masa kemerdekaan. Puncaknya, pada 24 September 1960; ketika DPR mengesahkan Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA), yang menjadi dasar hukum bagi pembaruan agraria di Indonesia.
24 September kemudian ditetapkan sebagai Hari Tani Nasional, sebagai penghormatan terhadap perjuangan para petani untuk hak atas tanah.
Namun dibalik peringatan ini, ironi terus terjadi. Konflik agraria belum juga berakhir; ribuan petani masih mengalami perampasan tanah, konflik dengan korporasi, dan ancaman penggusuran.
Dalam empat tahun terakhir, Komnas HAM mencatat lebih dari 2.276 kasus konflik agraria_ini adalah kenyataan pahit yang akan terus terjadi dan harus kita hadapi. Ditinjau dari sisi historis, masyarakat adat atau perjuangan agraria ini, telah ada sebelum negara ini berdiri.
Hal ini berimplikasi pada kehidupan masyarakatnya yang sudah terikat pada nilai – nilai budaya, secara turun-temurun, dan telah melalui proses adaptasi panjang dari interaksi intensif dengan perubahan lingkungan biofisiknya. Kini berjuang mati-matian demi hak atas tanah mereka, mala dijerat dalam proses hukum pidana.
Berdasarkan konteks sosial-budaya dan geografis yang begitu kaya, suatu keniscayaan bahwa kondisi masyarakat petaninya juga begitu beragam. Kondisi yang beragam menyebabkan penyeragaman model pembangunan dengan pendekatan sentaralistik ataupun top down sangatlah tidak relevan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar