Menjaga Identitas Lokal dalam Bingkai Hukum Formal

Di tengah arus globalisasi dan pembangunan ekonomi yang masif, masyarakat adat justru seringkali menjadi kelompok yang paling terpinggirkan dan menjadi korban dari ganasnya kebijakan pemerintah.
Dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 “menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya”.
Namun, dalam prakteknya, pengakuan ini masih bersifat terbatas dan tidak merata. Banyak komunitas adat belum diakui secara resmi oleh negara, terutama dalam hal hak atas tanah ulayat. Akibatnya, wilayah adat mereka rentan terhadap perampasan oleh perusahaan tambang, atau proyek infrastruktur.
Ironi Fakta Menunjukan
Wajah Nyata dari Ketertutupan dan Pengabaian :Banyak kasus yang menunjukkan bagaimana masyarakat adat kehilangan hak atas tanah ulayat mereka karena tidak diakui secara hukum formal.
Proses sertifikasi tanah yang bersifat individual bertentangan dengan sistem komunal masyarakat adat. Ditambah lagi, kurangnya representasi politik membuat aspirasi mereka jarang terdengar dalam pengambilan kebijakan.
Pengakuan negara juga dapat kita lihat dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, menyatakan” menegaskan bahwa Hutan Adat adalah hutan hak, bukan hutan negara, sehingga memulihkan hak masyarakat adat untuk mengelola wilayahnya.
Tapi hingga 2025, hanya sekitar 2,3 juta hektar wilayah hutan adat yang ditetapkan resmi—jauh dari potensi totalnya yang mencapai lebih dari 10 juta hektar.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar