Kadri Laetje: Papua Barat Daya Tak Perlu Ribut, Tiga Pulau Itu Milik Maluku Utara

Kadri Laetje

Sofifi, malutpost.com -- Klaim tiga pulau di wilayah Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya kembali mencuat ke publik.

Menanggapi hal itu, Pemerintah Provinsi Maluku Utara secara tegas menolak klaim tersebut dan menegaskan bahwa tiga pulau itu secara de facto dan de jure merupakan bagian sah dari wilayah Maluku Utara.

Asisten I Sekda Provinsi Maluku Utara, Kadri Laetje, menegaskan bahwa ketiga pulau yang dimaksud Pulau Piyai, Say, dan Kiyai secara historis maupun administratif adalah milik Halmahera Tengah dan berada dalam wilayah adat Kesultanan Moloku Kie Raha.

"Jadi tidak usah Pemerintah Papua Barat Daya meributkan lagi," tegas Kadri, Minggu (28/9/2025).

Kadri menjelaskan bahwa secara de jure, keberadaan tiga pulau tersebut telah diatur sejak ditetapkannya Provinsi Maluku Utara melalui Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999, yang kemudian diperkuat dengan UU Nomor 6 Tahun 2000. Dalam dua regulasi tersebut, wilayah administratif tiga pulau itu masuk ke dalam Kabupaten Halmahera Tengah.

Lebih lanjut, Kadri merujuk pada UU Pemekaran Kabupaten Nomor 1 Tahun 2003 yang masih mencantumkan pulau-pulau itu sebagai bagian dari Halmahera Tengah.

Tidak hanya itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara juga telah melakukan toponimi dan identifikasi ulang nama-nama pulau, serta meratifikasi kembali penamaan gugus pulau yang ada.

"Pulau Piyai, Say, dan Kiyai berada dalam wilayah ulayat Patani-Gebe, khususnya Desa Gimiya," ungkap Kadri.

Pernyataan ini diperkuat dengan Permendagri Nomor 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah, yang dengan jelas mengatur wilayah gugus pulau yang masuk dalam Provinsi Maluku Utara dan yang masuk Provinsi Papua Barat Daya.

Selain pendekatan hukum formal, Kadri juga menekankan bahwa secara de facto, masyarakat adat Patani-Gebe telah lama menjadikan ketiga pulau tersebut sebagai bagian dari kehidupan mereka.

"Di sana terdapat tanaman tahunan seperti kelapa, yang menjadi sumber kehidupan berkelanjutan sejak zaman Kesultanan Moloku Kie Raha. Ini membuktikan keberadaan masyarakat adat secara turun-temurun di tiga pulau itu," ujarnya.

Ia menambahkan, dari sudut pandang customary law atau hukum adat, kepemilikan wilayah oleh masyarakat adat sudah seharusnya dihormati dan dilindungi.

Kadri menyebut, apabila tidak ada kesepakatan damai antara kedua pihak, jika kemungkinan persoalan ini bisa dibawa ke Mahkamah Arbitrase Internasional, seperti kasus Sipadan dan Ligitan yang dimenangkan Malaysia berdasarkan hukum adat.

"Jadi secara hukum custumery law milik Halteng Maluku Utara. Jika tidak mendapat perundingan damai lalu naik ke Mahkamah Arbitrise," pungkasnya. (nar)

Komentar

Loading...