CERPEN: Langkah di Pasir Kenangan

KENANGAN adalah benang yang tak kasat mata yang menjahit waktu ke dalam hati. Ia wangi seperti tanah selepas hujan, rapuh seperti kabut yang menari di ufuk pagi, namun kokoh menahan kita untuk tak benar-benar pergi dari masa lalu. Kenangan menyalakan cahaya kecil di sudut jiwa, menghadirkan kembali tawa yang sudah lama senyap dan wajah yang mungkin tak hadir lagi. Ia bukan sekedar ingatan, melainkan nafas yang terus berhembus di sela-sela detik.
Langit pagi membentang bagai kain sutra biru pucat, lembut, dan nyaris tanpa cela. Laut di hadapannya berkilau seperti cermin raksasa yang menampung riak cahaya mentari. Di tepi pasir keemasan itu jejak-jejak kecil masa lalu seakan tetap hangat, seolah waktu menahan nafas, menunggu kami kembali. Angin laut mengusap wajah penuh kelembutan, membawa aroma asin dan bisikan kenangan yang tak pernah pudar.
Elnora melangkah perlahan, mendengarkan simfoni ombak yang datang silih berganti, lagu purba yang tak pernah usang. Setiap buih yang pecah di bibir pantai seketika menghadirkan bayangan Arven, sahabat kecil Elnora, teman sejiwa yang menemani setiap musim pertumbuhan dengan tawa bening dan rasa ingin tahu tak bertepi. Di sinilah, di pantai yang mereka juluki Halaman Rahasia, mereka menenun liburan kanak-kanak menjadi dongeng yang tak tertulis. Tak ada jam yang mengengkang, tak ada gawai yang menyala, hanya matahari, pasir, dan impian yang mereka genggam erat.
Dulu, tiap pagi, Arven datang dengan langkah tergesa, membawa jaring ikan mungil dan senyum selebar cakrawala. Mereka berlomba menapaki jembatan kayu yang merentang ke laut, mendengarkan derit papan yang akrab bagai sapaan lama. Sesekali mereka menemukan kepiting mungil bersembunyi di balik karang, di lain waktu, hanya tawa yang meledak ketika ombak nakal memercik kaki mereka.
Di sela petualangan kecil itu, Elnora kerap memandang cakrawala dan merasakan detak laut di dadanya. Kadang mereka berbaris di atas pasir, menatap awan yang berubah bentuk menjadi naga, kapal, atau istana raksasa. Arven selalu mengarang cerita dari awan-awan itu, dan Elnora mendengarkan dengan mata berbinar. Angin yang melintas di sela rambut mereka seperti membisikan rahasia langit, menambah hangat kebersamaan yang tak terganti.
Ada sore ketika hujan yang mendadak turun, dan mereka berlindung di bawah perahu nelayan yang terbalilk di tepi pantai. Hujan menari di permukaan laut, menebarkan harum tanah dan garam. Di dalam sempitnya perlindungan itu, mereka bercakap tentang hal-hal kecil, warna favorit, mimpi yang belum terucap, ketakutan yang diam-diam mereka sembunyikan. Kata-kata mereka menyatu dengan suara rintik, menolehkan keintiman yang hanya dimiliki sahabat sejati.
Sering pula mereka menulis huruf-huruf rahasia di permukaan pasir, kata-kata yang hanya di mengerti berdua. Ketika ombak datang menghapusnya, mereka tertawa seolah alam pun ikut menyimpan rahasia itu. Arven pernah berkata, “mungkin laut adalah buku raksasa. Ia membaca setiap kata yang kita tulis, lalu menyimpannya di dasar yang tak terjamah.” Kalimat itu menempel di benak Elnora, seperti gema yang tak pernah pudar.
Di lain hari, mereka mengumpulkan kulit kerang yang memantulkan cahaya senja. Setiap kerang dianggap lambang sebuah cerita, tentang bintang jatuh yang mereka saksikan di malam sebelumnya, atau tentang perahu nelayan yang kembali dengan lampu-lampu berkilau bagai kunang-kunang. Elnora selalu kagum pada cara Arven memberi makna pada benda-benda sederhana, seolah setiap butir pasir pun punya kisah yang patut di hargai.
Pernah pula mereka berjalan jauh menyusuri pantai hingga menemukan laguna tersembunyi, sebuah kolam kecil yang memantulkan langit senja seperti cermin alami. Di sanalah mereka bermain air, tertawa hingga perut terasa kaku, dan membuat kapal-kapalan dari daun kelapa yang hanyut pelan di permukaan. Elnora mengingat bagaimana cahaya sore memantul di rambut Arven, seperti kilau madu yanng menari.
Pada malam tertentu, mereka berdua diam-diam menunggu munculnya bulan purnama, berbaring di atas tikar pandan sambil memandang langit yang seolah menumpahkan susu perak. Arven bercerita tentang bintang-bintang yang katanya bisa menjadi peta bagi para pelaut. Elnora, dengan mata yang setia menatap langit, merasa seakan bintang-bintang itu mendengarkan setiap tawa mereka, menyimpan percakapan yang tak akan usai.
Mereka punya kebiasaan aneh dan manis, menanam krikil warna-warni di pasir, lalu menandainya dengan ranting. “suatu hari kita akan kembali dan melihat apakah mereka tetap di sini,” ucap Arven dengan mata berbinar seperti bintang yang baru lahir. Waktu itu Elnora hanya tertawa, belum memahami betapa kalimat sederhana itu kelak akan menjadi mantra pengingat.
Senja selalu menjadi jam kesukaan mereka. Langit berubah menjadi kanvas jingga keemasan, dan matahari turun perlahan seperti menutup tirai pertunjukan. Di momen itu, mereka berkhayal tentang masa depan, menjadi pelaut yang menaklukan samudra, arsitek yang menulis bentuk kota, bahkan penulis petualangan yang merangkai kisah dari angin. Dunia bagi mereka seluas cakrawala yang tak terbatas.
Namun, seperti ombak yang terus berulang, hidup membawa arusnya sendiri. Saat mereka duduk di bangku SMP, Arven harus pindah ke kota besar mengikuti ayahnya. Elnora masih ingat perpisahan pagi itu, mereka berdiri di ujung dermaga kayu, angin laut mengantar garam dan sunyi. Arven menatap lautan dengan tatapan dalam, lalu berbisik, “Suatu hari, kita akan kembali ke sini.” Elnora hanya mengangguk, menahan air mata yang menggumpal. Mereka saling berjanji, tapi siapa yang dapat menahan laju waktu?
Hari-hari setelah kepergian Arven terasa seperti pantai tanpa ombak. Elora sering datang sendiri, mendengarkan keheningan yang mengembang di antara desiran angin. Kadang mereka menulis nama mereka di pasir, hanya untuk melihat huruf-huruf itu larut diterpa gelombang. Setiap huruf yang lenyap menjadi simbol betapa kenangan tetap ada, meski wujudnya berubah.
Tahun-tahun bergulir seperti pasir yang lolos di sela jemari. Awalnya mereka bertukar surat, lalu pesan singkat, hingga akhirnya percakapan meredup bagai api lilin ditiup angin. Hidup mereka berisi kehidupan yang berbeda, sekolah, pekerjaan, impian yang berbelok arah. Meski begitu, pantai itu kerap menyelinap dalam mimpi Elnora, namun entah kenapa Elnora selalu menunda langkah untuk kembali.
Dan kini, akhirnya Elnora berdiri di pantai itu lagi. Ombak tetap menyanyikan lagu purbanya, angin tetap menebar aroma asin yang sama. Hanya saja, kini Elnora sendiri. Jejak-jejak kecil yang dulu mereka tinggalkan telah lama terhapus, tetapi anehnya Elnora merasa Arven tak benar-benar pergi.
Elnora menapaki batu karang tempat biasa mereka duduk. Di sela pasir, cahaya matahari menangkap kilau mungil, sebuah kerikil biru, warnanya memang pudar, tapi bentuknya tak berubah. Jantungnya berdegup. Mungkinkah ini... salah satu kerikil yang dulu kami tanam? Angin laut seolah menertawakan pertanyaannya, namun baginya itu pertanda, persahabatan sejati tak mengenal tanggal kadaluarsa.
Elnora duduk lama, membiarkan kenangan menari seperti ombak. Dalam benaknya, Elnora melihat Arven berlari di tepi air, tawa riangnya menyibak senja. Rasanya seolah ia hanya beberapa langkah ke depan, menunggu Elnora menyusul.
Langit perlahan merona oranye, seakan megulang pertunjukan sore yang dulu mereka saksikan bersama. Elnora memejamkan mata, meresapi hangat cahaya dan dingin angin sekaligus. Ada keharuan yang menenangkan, ikatan mereka ternyata tak tergantung pada jarak atau percakapan, melainkan hidup dalam setiap desau angin dan butir pasir yang menempel di kaki.
Ketika matahari akhirnya karam di balik cakrawala, Elnora berdiri dengan senyum kecil. “Terima kasih, Arven,” bisik Elnora pada laut yang bergelora lembut. “Aku masih di sini, dan kenangan kita pun tetap berdiam.”
Langkah Elnora meninggalkan jejak baru dipasir basah. Ia tahu ombak akan menghapusnya, seperti jejak-jejak lama yang hilang tanpa bekas. Tapi itu tak penting. Sebab yang sejati bukanlah jejak yang nampak di permukaan, melainkan yang terpatri di hati abadi, tak tergoyahkan oleh waktu.
Malam mulai menurunkan tirainya, menyalakan bintang-bintang kecil di langit yang seolah menatap kembali pada Elnora. Ombak yang semula berbisik lembut kini terdengar bagai bisikan panjang. Mengiring langkah dengan irama yang sama seperti dulu. Di antara suara laut, Elnora seolah mendengar tawa Arven jauh, samar, namun hangat, bercampur dengan desir angin.
Ia berhenti sejenak, menoleh kebelakang. Jejak kakinya berkilau terkena cahaya bulan yang baru lahir. Jejak-jejak itu memang akan hilang, namun ia mengerti, kenangan tak pernah lenyap. Ia adalah cahaya yang menetap, meski tak terlihat mata.
Di dadanya, Elnora merasakan kesepakatan diam. Bahwa pantai ini akan selalu menjadi pertemuan mereka, meski tanpa kata dan tanpa wujud. Bahwa setiap kali ombak menyentuh daratan, itu adalah sapaan lembut dari sahabat kecilnya.
Dengan hati yang lebih ringan, ia melangkah kembali ke jalan setapak menuju rumah. Malam yang semula terasa sunyi kini penuh suara rintik daun, detak laut, bisik bintang. Elnora tahu, sekalipun waktu terus bergerak dan jarak terus melebar, persahabatan mereka telah menjelma menjadi sesuatu yang tak tertandingi, sebuah keabadian yang bersemayam di dalam kenangan.(*)
Komentar