Perebutan Pulau antara Gebe dan Raja Ampat

Riski Ikra

Sebaliknya, bagi sebagian masyarakat Raja Ampat, pulau-pulau tersebut diyakini sebagai ruang sejarah yang memiliki ikatan tradisional dengan leluhur mereka. kedua pihak sama-sama memiliki narasi, dan narasi inilah yang membentuk legitimasi sosial atas klaim mereka.

Perebutan wilayah bukan masalah biasa. Maluku Utara berdiri pada atas dasar sah-rasional, yakni aturan negara yang tertulis. sementara Raja Ampat membawa legitimasi tradisional, dengan mengandalkan ikatan sejarah dan kedekatan geografis.

Pertentangan antara dua bentuk legitimasi ini menjelaskan mengapa konflik masih terus berlangsung meskipun sudah ada keputusan resmi negara. Hukum memang kuat, tetapi Jika tidak diakui secara sosial oleh pihak lain, maka implementasinya tetap menghadapi tantangan.

masyarakat hanya bisa stabil Jika solidaritas sosialnya terjaga. sengketa perbatasan, betapapun kecil wilayahnya, berpotensi mengganggu kohesi sosial. di lapangan, konflik klaim pulau bisa memecah hubungan antar nelayan, mengganggu interaksi dagang, bahkan menimbulkan perasaan saling curiga.

Solidaritas yang sebelumnya terjalin longgar antar masyarakat pesisir Maluku Utara dan Papua Barat Daya bisa retak hanya karena perbedaan tafsir mengenai batas wilayah. Pulau kecil itu akhirnya menjadi simbol besar yang memecah kesadaran kolektif.

Pierre Bourdieu memberi kita lensa lain untuk membaca persoalan ini. Menurutnya, setiap aktor sosial berjuang mempertahankan kapital: modal ekonomi, modal politik, kapital sosial, dan kapital simbolik.

Pulau Sain, Piyai, dan Kiyas menyimpan semua modal itu, dari sisi ekonomi, ia memiliki kekayaan laut, potensi wisata, dan peluang strategis.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4

Komentar

Loading...