Apatisme Generasi Muda dan Jalan Penyelamatan
Budaya Nusantara di Tepi Jurang Globalisasi

Menggugat Globalisasi dan Sadarlah Generasi Muda
Globalisasi memang tak bisa dihindari. Dunia kini seolah tanpa batas, informasi mengalir deras, dan interaksi lintas budaya hadir setiap detik. Namun, di balik derasnya arus itu, ada bahaya yang sering luput: generasi muda kian kehilangan daya kritis.
Mereka lebih nyaman menjadi penonton budaya luar ketimbang penggerak budaya sendiri. Saat remaja lebih hafal lirik lagu Korea ketimbang tembang daerahnya, itu bukan sekadar perbedaan selera, melainkan tanda krisis identitas.
Ketika pakaian adat dianggap kuno sementara busana global diagungkan, yang terjadi adalah degradasi kebanggaan. Dan saat tarian asing ditiru dengan percaya diri di media sosial, sedangkan tarian daerah dilupakan, di situlah fondasi budaya kita terkikis.
Kritik ini tidak dimaksudkan untuk menghakimi, melainkan menggugah kesadaran. Generasi muda harus menyadari bahwa budaya Nusantara bukan barang antik yang dipajang di lemari kaca, melainkan napas kehidupan yang mesti dijaga.
Jangan sampai kalian para pemuda hanya menjadi pewaris tanah tanpa mewarisi ruh budayanya. Bayangkan bila suatu saat anak cucu hanya mengenal tarian daerah melalui buku sejarah, bukan dari tubuh yang menari.
Atau musik tradisional yang hanya bisa diperdengarkan di museum, bukan lagi di pesta rakyat. Kehilangan semacam itu jauh lebih menyakitkan daripada hilangnya benda modern, sebab ia menyangkut identitas kolektif sebuah bangsa.
Merawat budaya sejatinya adalah bentuk tertinggi cinta tanah air. Nasionalisme tidak cukup dengan bendera berkibar setiap 17 Agustus atau lagu kebangsaan dinyanyikan lantang.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar