Apatisme Generasi Muda dan Jalan Penyelamatan
Budaya Nusantara di Tepi Jurang Globalisasi

Cakalele hanya muncul sesekali, itupun ketika ada tamu resmi datang berkunjung atau sekadar dijadikan tontonan bagi wisatawan asing.
Perlahan, tarian yang lahir dari nilai-nilai kepahlawanan itu kehilangan ruhnya, bergeser menjadi atraksi seremonial yang dangkal. Ia tidak lagi tumbuh dari kebersamaan masyarakat, melainkan dipanggungkan untuk konsumsi semata.
Padahal, Cakalele sejatinya adalah sarana pemersatu, ruang sosial yang menyatukan komunitas, dan media pendidikan nilai bagi generasi muda Maluku.
Merosotnya tarian ini dari ruang hidup sehari-hari adalah tanda bahwa kita sedang membiarkan warisan leluhur tergerus oleh zaman, hingga hanya tersisa nama tanpa jiwa.
Lebih jauh lagi, musik tifa yang pernah mengiringi pesta rakyat di Maluku dan Papua pun bernasib hampir sama. Alat musik tradisional yang dulu menjadi denyut irama perayaan, kini kalah bersaing dengan dentuman musik modern yang lebih digemari anak-anak muda.
Tifa tak lagi dimainkan sebagai perekat sosial, melainkan sekadar dipukul dalam event seremonial yang sifatnya temporer. Padahal, suara tifa sejatinya adalah suara kehidupan komunitas, ritme yang menghubungkan manusia dengan alam dan leluhurnya.
Keterpinggiran budaya tentu masih banyak di daerah-daerah lain. contoh fenomena di atas tentu cukup menunjukkan bahwa budaya Nusantara di daerah-daerah justru terancam hidup sebagai artefak.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar