Memahami Pendidikan Secara Khidmat

Tidak heran peserta didik terbiasa mencari jawaban instan melalui Google atau aplikasi AI seperti ChatGPT. Proses belajar menjadi ritual formal, bukan upaya mendalam untuk mencari kebenaran.
Sistem semacam ini bukan hanya gagal menumbuhkan kebebasan, tetapi juga melahirkan generasi yang manja, malas, dan hedonistik. Kebebasan sejati, sebagaimana ditegaskan Al-Qur’an (QS Al-Ahzab:72), adalah amanah yang harus dipikul manusia.
Kebebasan itu harus diarahkan pada kebaikan yang bermanfaat bagi banyak orang, bukan sekadar kepentingan diri. Tanpa pendidikan yang menuntun pada kebajikan, kebebasan mudah tergelincir menjadi kehancuran.
Di sinilah pentingnya pendidikan yang tidak hanya mendidik pikiran, tetapi juga menata hati. Pengetahuan tanpa kebajikan ibarat pelaut mahir yang sengaja membawa kapal ke jalur berbahaya demi menguji kemampuan, seraya mengabaikan keselamatan penumpang.
Sejarah pun merekam banyak pemimpin cerdas namun berhati beku yang hanya meninggalkan kerusakan. Pendidikan yang khidmat menuntut keseimbangan: membaca teks sekaligus membaca ruang, menajamkan akal sekaligus melembutkan nurani.
Dengan begitu, kebebasan yang kita miliki dapat digunakan untuk menciptakan perubahan yang hakiki, perubahan yang membebaskan manusia dari kebodohan dan menuntunnya pada kemanusiaan yang utuh.
Tanpa khidmat semacam itu, pendidikan hanya akan melahirkan kecerdasan kering, jauh dari cita-cita Aristoteles: mendidik pikiran dan mendidik hati sekaligus. (*)
Komentar