Memahami Pendidikan Secara Khidmat

Akibatnya, pendidikan sering direduksi sekadar lulus sekolah, meraih gelar, lalu bekerja, tanpa diiringi peningkatan kualitas diri. Budaya diskusi dan dialog kalah oleh kegemaran bergunjing atau memperbincangkan topik remeh di media sosial.
Contoh paling luhur tentang pendidikan yang menuntun perubahan dapat kita temukan pada kisah Nabi Muhammad SAW. Ketika wahyu pertama turun, perintahnya adalah “Iqra” bacalah. Jibril mengajarkan huruf, namun makna perintah itu jauh melampaui membaca teks. Ia mengajak Nabi untuk membaca realitas sosial jahiliah.
Dari kegelisahan terhadap keadaan itulah lahir perubahan besar: peradaban yang semula gelap beralih menuju pencerahan.
Dalam filsafat pendidikan, proses itu bisa dirumuskan: Stimulus × Rangsangan = Respon. Masyarakat jahiliah menjadi stimulus, kegelisahan Nabi menjadi rangsangan, dan hasilnya adalah respon berupa transformasi total. Pendidikan, pada hakikatnya, memang sebuah proses pembebasan.
Namun sistem pendidikan kita kerap berjalan sebaliknya. George Orwell dalam novel 1984 menggambarkan masyarakat yang dibungkam oleh kekuasaan besar.
Analogi ini terasa dekat: pendidikan kita masih dibelenggu sistem yang mengekang kebebasan peserta didik untuk berpikir kritis. Kurikulum dan praktik belajar sering diarahkan pada kepentingan pemodal: sekolah dan kuliah hanya dilihat sebagai jalan menuju pekerjaan.
Di banyak lembaga, penilaian pun kerap dangkal. Kehadiran dan pengumpulan tugas lebih dihargai ketimbang pemahaman dan keaslian gagasan. Pekerjaan rumah sering dinilai asal selesai, tak peduli apakah hasilnya orisinal atau plagiasi.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar