Memahami Pendidikan Secara Khidmat

Oleh: Achmad Gani Pelupessy
(Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia)
“Mendidik pikiran tanpa mendidik hati bukanlah pendidikan sama sekali,” ujar Aristoteles berabad-abad silam. Ungkapan ini terasa kian relevan ketika kita menyaksikan pendidikan hari ini yang sering dipahami sebatas proses belajar formal: membaca teks, mengikuti kajian, berdiskusi, atau berdebat di kelas.
Jika pendidikan hanya dipersempit pada rutinitas itu, ia akan berumur pendek di tengah keganasan zaman. Fenomena yang tampak nyata adalah kian menipisnya minat membaca.
Tom Nichols dalam Matinya Kepakaran menulis, di era informasi orang tidak lagi memandang para ahli sebagai rujukan utama karena banjir informasi dari media sosial.
Kepakaran sejatinya lahir dari kebiasaan membaca, meneliti, dan menulis aktivitas pendidikan yang kini kerap ditinggalkan. A.S. Laksana bahkan menyebut aktivitas semacam itu seperti “tak punya masa depan” karena tergeser oleh arus informasi instan.
Pendidikan, karena itu, perlu dipahami secara khidmat, sebagai sumber nafas yang menuntun manusia belajar sepanjang hayat. Kesadaran untuk berpendidikan tidak semata berawal dari membaca teks, melainkan dari dorongan untuk berubah.
Perubahan tidak selalu lahir dari buku; ia dapat tumbuh dari “membaca” ruang dan situasi. Heraclitus menegaskan, perubahan adalah keniscayaan. Maka, perubahan positif yang memberi manfaat luas adalah tanda nyata bahwa seseorang sedang menjalani proses pendidikan.
Di Indonesia, minat membaca masih memprihatinkan. Data UNESCO menunjukkan hanya 0,001 persen atau satu dari seribu orang Indonesia yang rajin membaca.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar