Administrasi Negara bukan Panggung Eksperimen Kekuasaan
“Bupati bukan Nabi”

Tindakan melanggar norma dan AUPB dapat dikualifikasi sebagai melanggar sumpah jabatan yang itu berarti dapat menjadi alasan yang cukup untuk mendorong pemakzulan (bagian ini tidak diurai secara rinci pada tulisan ini, mungkin pada bagian lain).
Emergency Exit
Nayatanya, Bupati Bassam telah mengambil tindakan hukum dengan alibi diskresi. Secara administratif, bagaimana solusi atas polemik tersebut? Penulis berpendapat ada dua hal yang dapat dilakukan.
Pertama; Bupati selaku pejabat tata usaha negara dapat mencabut atau membatalkan SK yang diterbitkan untuk ‘menghidupkan kembali’ kepala desa yang sebelumnya tegas dibatalkan oleh Pengadilan TUN.
Hal ini, merujuk pada asas contrarius actus, badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang menerbitkan suatu keputusan TUN juga berwenang untuk membatalkan atau mencabut keputusan tersebut.
Prinsip ini memungkinkan pejabat atau instansi yang mengeluarkan keputusan secara langsung memperbaikinya atau membatalkannya jika terdapat cacat yuridis, tanpa harus menunggu keberatan dari pihak lain atau mengajukan gugatan ke pengadilan.
Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki keadaan, karena tertib adminsitrasi adalah ruh meristrokrasi.
Kedua; para pihak yang merasa dirugikan (memiliki legal standing) dapat menembut upaya hukum adminsitrasi untuk mengajukan koreksi atas tindaka hukum Bupati melalui pengadilan adminsitrasi.
Polemik administrasi pemerintahan tidak boleh dianggap sepele. Karena keteraturan birokrasi yang baik adalah cermin dari aministrasi negara yang beradap.
Itulah, pemerintahan yang melayani terbaik adalah yang administrasi bersih, transparan, akuntabel dan bernafaskan peraturan perundang-undangan, sehingga kepercayaan publik terjada. (*)
Komentar