Mendesak Amandemen Konstitusi, Implikasi Desain Baru Pemilu

Rizal Restu Prasetyo

Sementara Pasal 18 ayat (4) menyebut bahwa Kepala Daerah “dipilih secara demokratis,” tanpa menegaskan bahwa mekanismenya harus melalui pemilu. Perbedaan ini menimbulkan disparitas konseptual antara model penyatuan Pemilu dan Pilkada kedalam satu rezim Pemilu dalam putusan MK dan konstruksi asli UUD 1945.

Urgensi Amandemen Terbatas

Ketidakselarasan antara model Pemilu dan Pilkada dalam Putusan MK dengan naskah asli UUD 1945 berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan konflik politik yang yang tak berujung, karena itu, amandemen terbatas terhadap Pasal 22E dan Pasal 18 ayat (4) menjadi jalan keluar yang rasional.

Amandemen ini tidak dimaksudkan untuk mengubah haluan besar konstitusi, tetapi untuk mempertegas posisi Pilkada, apakah akan diakui sebagai bagian dari rezim pemilu atau tetap menjadi rezim tersendiri, lebih jauh menjadi landasan sinkronisasi secara oprasional dalam implementasi pelaksanaan kontestasi elektoral kedepan.

Implikasi Putusan MK 135/PUU-XXII/2024 terhadap Periodesasi DPRD Periode 2024–2029
Salah satu persoalan mendesak karena lahirnya Putusan MK 135/PUU-XXII/2024 adalah potensi ketidaksinkronan masa jabatan DPRD hasil Pemilu 2024.

Jika Pemilu Lokal baru dilaksanakan paling lambat tahun 2031, maka akan terjadi kekosongan dua tahun setelah periode DPRD berakhir pada 2029. Ada dua opsi solusi,

Pertama, perpanjangan masa jabatan DPRD 2024–2029, opsi ini menjaga kesinambungan pemerintahan, tetapi memerlukan dasar hukum yang jelas dan berimplikasi pada legitimasi mandat rakyat.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3

Komentar

Loading...