Milad Kohati ke-59 : Mengungkap Ketimpangan Gender dalam Praktik Organisasi

Simone de Beauvoir dalam karya monumental The Second Sex menulis bahwa perempuan sering dijadikan "Liyan" (The Other), objek yang diatur oleh standar laki-laki. Pola pikir inilah yang harus dibongkar.
Di Indonesia, Mansour Fakih dalam Analisis Gender dan Transformasi Sosial menjelaskan bahwa ketimpangan gender adalah bagian dari ketidakadilan struktural yang harus diubah secara kolektif.
Jika hanya perempuan yang bergerak, maka perubahan akan lambat dan sering kali terhambat oleh struktur yang mayoritas dikendalikan laki-laki.
Kalis Mardiasih, seorang penulis dan aktivis gender, menegaskan pentingnya melibatkan laki-laki:
Kalis Mardiasih dalam Muslimah yang diperdebatkan menyebutkan “Gerakan perempuan tidak bisa bekerja sendirian. Laki-laki harus diajak masuk dalam pembicaraan. Jika tidak, perjuangan akan berhenti di ruang gema yang hanya menguatkan sesama perempuan, tapi tidak mengubah struktur yang timpang.”.
Pernyataan ini mengajak kita untuk tidak terjebak pada perjuangan yang eksklusif, melainkan membangun gerakan yang inklusif. Kita tidak bisa menutup mata bahwa patriarki masih hidup bahkan di tubuh organisasi yang seharusnya progresif.
Kenyataan yang Terjadi : Cermin yang Harus Dihadapi
Perlu kita akui, masih ada kebiasaan yang membuat perjuangan Kohati terasa berat di satu sisi.
Isu perempuan hanya dibebankan pada Perempuan – seolah-olah jika ada kasus pelecehan seksual atau diskriminasi, cukup Perempuan yang bersuara.
Training yang bertemakan gender rata-rata minim partisipasi kader laki-laki, padahal pembahasan keadilan gender relevan bagi semua kader.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar