Malut Darurat Difteri: Saatnya Bertindak Cepat

Kedua, akses layanan kesehatan. Tidak semua puskesmas memiliki fasilitas lengkap. Diagnosis kadang terlambat ditegakkan. Kasus di Ternate menunjukkan bagaimana gejala awal difteri bisa disangka radang amandel biasa. Begitu pasien datang dengan kondisi berat, nyawa sudah sulit diselamatkan.
Ketiga, kesadaran masyarakat. Ada orang tua yang masih ragu dengan vaksin, entah karena hoaks atau alasan agama. Ada juga yang sekadar malas atau terkendala biaya transportasi ke puskesmas.
Semua faktor ini berkumpul, lalu membuka celah bagi difteri.Dan yang paling menyedihkan, serum antitoksin difteri, obat yang bisa menetralkan racun, tidak selalu tersedia di rumah sakit daerah. Apa artinya deteksi dini kalau penanganan utama tidak ada? Ini seperti menemukan api, tapi tidak punya air untuk memadamkan.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Jawabannya tidak serumit yang dibayangkan.
Pertama, Maluku Utara butuh gerakan ORI sendiri. Jangan tunggu kasus bertambah. Imunisasi massal harus dilakukan di sekolah, posyandu, hingga kampung-kampung terpencil. Targetnya jelas: semua anak usia sekolah hingga remaja harus divaksin ulang.
Kedua, tenaga medis harus dipersenjatai dengan kewaspadaan baru. Radang biasa jangan dianggap remeh bila ada lapisan putih di tenggorokan atau leher membengkak. Lebih baik salah curiga daripada terlambat.
Ketiga, logistik harus tersedia. Serum antitoksin, antibiotik, APD semuanya wajib ada di puskesmas dan rumah sakit. Jangan ada lagi cerita pasien difteri yang menunggu obat kosong.
Keempat, edukasi publik harus massif. Gunakan semua saluran: media massa, media sosial, mimbar masjid, pengajian ibu-ibu, hingga grup WhatsApp keluarga. Sampaikan pesan sederhana: difteri bisa membunuh, vaksin bisa mencegah.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar