Malut Darurat Difteri: Saatnya Bertindak Cepat

Belajar dari Daerah Lain
Kita tidak sendirian menghadapi difteri. Pada 2017–2018, Indonesia sempat diguncang KLB difteri nasional. Jawa Timur mencatat ratusan kasus. Banten dan Jakarta ikut kalang kabut. Tapi mereka bergerak cepat.
Tim reaksi cepat (rapid response team) dibentuk. Setiap laporan kasus diikuti dengan pelacakan kontak. Semua orang yang pernah dekat dengan pasien diperiksa, lalu diberi antibiotik untuk mencegah penularan.
Tidak berhenti di situ. Pemerintah bersama WHO dan UNICEF meluncurkan Outbreak Response Immunization (ORI). Anak-anak sekolah divaksinasi ulang. Posyandu buka ekstra. Vaksinasi dikebut dari kampung ke kampung. Hasilnya nyata: laju penularan menurun drastis.
Pelajaran lain datang dari komunikasi publik. Di Jakarta, misalnya, puskesmas tak lelah mengedukasi warga. Pesannya sederhana: difteri bisa membunuh, tapi vaksin bisa mencegah. Ulangi terus, sampai masyarakat percaya.
Strategi komunikasi inilah yang sering terlupakan. Padahal, ketakutan dan hoaks hanya bisa dilawan dengan informasi yang jernih.
Semua itu membuktikan satu hal: difteri hanya bisa dikendalikan jika pemerintah, tenaga medis, dan masyarakat bergerak bersama.
Tantangan di Maluku Utara
Mengapa difteri bisa muncul lagi di Ternate? Ada beberapa alasan.
Pertama, cakupan imunisasi belum merata. Data Kemenkes menunjukkan beberapa provinsi di timur, termasuk Maluku Utara, masih kesulitan mencapai target imunisasi dasar lengkap. Ada anak yang belum tersentuh vaksin, ada pula yang jadwalnya terlewat.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar