Catatan
Ketika (Tak) lagi Berkuasa

Ironisnya, orang yang kehilangan kekuasaan kadang menggunakan strategi serupa untuk mempertahankan relevansinya. Ia mungkin menampilkan kritik, sindiran, atau retorika moral guna membangun kembali simpati publik. Itu terjadi dalam lanskap politik terutama di daerah-daerah.
Di Indonesia, fenomena ini terlihat pada dinamika politik pasca-pemilu. Politisi atau partai yang kalah acapkali bertransformasi menjadi oposisi dengan narasi perlawanan. Namun, perlawanan ini kerap bercampur antara idealisme dan upaya menjaga eksistensi.
Dengan kata lain, ketika tidak lagi berkuasa, politik resistensi menjadi strategi bertahan. Sosiolog terkemuka Pierre Bourdieu menegaskan bahwa kekuasaan tidak hanya ditentukan oleh posisi formal, tetapi juga modal simbolik, sosial, dan budaya (Bourdieu, 1991: 231).
Ketika seseorang tak lagi berkuasa, ia mengalami “relokasi sosial”: dari pusat ke pinggiran. Namun, modal simbolik (seperti reputasi, karisma, atau pengetahuan) dapat menjaga seseorang tetap relevan, meskipun secara formal ia tersingkir.
Dalam banyak kasus, mantan pemimpin/kepala daerah yang bijak justru memperoleh otoritas moral yang lebih kuat setelah tidak lagi berada di kursi formal.
Hal ini disebut oleh Antonio Gramsci sebagai hegemoni kultural, kekuasaan yang bertahan karena diterima secara sukarela oleh masyarakat, bukan karena dipaksakan (Gramsci, 1971: 145).
Dengan begitu, kehilangan kekuasaan bukan akhir segalanya; ia bisa menjadi titik awal lahirnya pengaruh baru yang lebih berakar pada legitimasi moral.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar